Bukan soal kekalahan 4-0 yang sekaligus mengakhiri rekor 21 kali tak pernah Indonesia saat hadapi Filipina. Bukan pula soal mengapa Alfred Riedl yang belum pernah mengantarkan timnya juara tetap dipercaya Indonesia. Ini soal kompetisi, ini soal keberpihakan pemerintah.
Ya, kompetisi adalah akar semuanya. Akar mengapa Indonesia semakin terpuruk dari peta persiangan tim terkuat di Asia Tenggara. Tak usah muluk-muluk Asia bahkan Dunia. Bukan tak harus memikirkan langkah kesitu tetapi mungking memang belum saatnya mengedepankan mimpi itu.
Saya kira, kita semua sadar; yang menonton kompetisi Indonesia Super League (ISL), mengikutinya, mendengarnya, bahkan yang tak peduli sama sekali; bahwa ISL musim ini bergulir begitu panjang. Berawal pada 1 Febuari lalu, juara ISL 2014 baru diketahui pada 7 November 2014. Dibutuhkan 10 bulan untuk menyelesaikan sebuah kompetisi yang diikuti 22 peserta.
Dengan sistem kompetisi dua wilayah untuk musim ini, sejatinya hanya dibutuhkan 20 pekan untuk menyelesaikan tahapan grup wilayah (barat dan timur), atau hanya lima bulan. Babak selanjutnya yaitu delapan besar hanya membutuhkan enam pekan atau satu bulan setengah. Sedangkan semifinal dan final hanya satu minggu saja. Jika dikalkulasi, maka untuk musim ini hanya dibutuhkan sekitar enam bulan tiga minggu atau anggaplah tujuh bulan.
Dengan asumsi demikian, jika kompetisi dimulai awal Febuari maka kompetisi ISL akan berakhir Agustus atau paling ngaret September. Dengan kata lain, persiapan Tim Nasional (Timnas) Indonesia untuk ajang Piala AFF 2014 setidaknya mencapai satu bulan bahkan dua bulan lebih.
Tapi itu hanya perhitungan matematis. Nyatanya, musim ini kompetisi ISL “terpaksa” dihentikan dua kali karena pelaksanaan Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden. Olahraga tetaplah olahraga sedangkan politik tetaplah politik. Ada pun kaitan antara keduanya bisa saja terjadi dan bisa jadi ditolak. Terserah Anda mempersepsikannya.
Lantas apa soal? Itu dia; seringkali peristiwa kenegaraan menghambat program yang ada. Benturannya, pihak keamanan tak memberikan izin pada klub untuk menggelar pertandingan karena berbentrokan dengan jadwal pemilu itu. Selain faktor keamanan, pertandingan ISL dikhawatirkan menjadi lahan untuk pencitraan politis. Salah kaprah.
Pihak keamanan, dalam hal ini Negara selayaknya tidak memberhentikan kompetisi. Tak perlu jauh-jauh saya bermetafora dengan klub luar negeri (Eropa) atau mengambil kutipan dari buku-buku sepak bola seperti yang biasa ditulis para kolumnis, pakar sepak bola Indonesia (jagonya ngomong sepak bola luar negeri dan hanya mengkritisi semata sepak bola dalam negeri). Saya ingin katakana, pihak keamanan, dalam hal ini Polisi, hampir tak berani mengambil alih kepercayaan masyarakat bahwa mereka mampu mengamankannya.
PSSI sebagai federasi yang bersinergi dengan “gang”nya sendiri yakni FIFA pun tak ingin diintervensi. Sayang, kekuatan keamanan negeri ini tak bisa memuluskan seluruh intervensi. Saya ingin katakana pada PSSI, “jangan terlalu arogan bahwa kalian tak bisa diintervensi layaknya dewa. Semua punya hubungan dan keterkaitan, begitu pula sepak bola.”
Jangan beredukasi dengan sesama klub saja, kalian (PSSI) juga harus beredukasi dengan pemerintah. Saling mendukung dan bersinergi tanpa ada campur tangan yang berlebihan. Mengejewantahkan peran pemerintah sama juga mendirikan pemerintahan di tengan pemertintah dan itu tentunya tak akan sukses di zaman ini.
Lantas Riedl dan seluruh pemainnya. Ya, mereka memang mengecewakan kita semua sebagai masyarakat yang merindukan Timnasnya tampil baik dan berprestasi di tingkat internasional. Tapi mereka tak sepenuhnya salah. Mereka hanya manusia biasa dari sebagian kecil kita yang dianugerahi kesempatan membela Timnas Indonesia.