Mohon tunggu...
Abdul Susila
Abdul Susila Mohon Tunggu... Editor - Fanatik timnas Indonesia, pengagum Persija, pecinta sepak bola nasional

anak kampung sungai buaya yang tak punya apa-apa di jakarta selain teman dan keinginan untuk .....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lembah Surya Kencana; Cinta Itu Ideologi

21 Desember 2014   21:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:47 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir tahun 2015, sebelum angka-angka di kalender mencapai angka 16, aku pergi ke gunung dengan sikap tenang. Menyapa dinginnya air kaki gunung Putri yang segar. Berjalan perlahan menuju hutan pinus melewati satu sungai kecil, menurun dan mendaki.

Banyak yang berubah dari kaki gunung ini. Jalurnya semakin membaik. Pendakinya juga semakin tidak semena-mena seperti beberapa tahun lalu; hampir di sepanjang jalur pendakian selalu saja terdengar suara-suara teriak kencang meniru hewan hutan. Mengganggu ketenangan hutan dan sekitarnya.

Dalam perjalanan dengan cerita pribadinya, sampailah aku bersama kesembilan temanku di lembah Surya Kencana. Tujuh jam waktu yang kami butuhkan untuk sampai ke lembah yang diapit puncak Gemuruh dan puncak Gede itu. Berjalanlah sendirian di garis tengah lembah ini menuju ke timur, tempat matahari terbenam. Lalu dirikan tenda di sana.

Sambil berjalan di tengah lembah itu, renungkanlah sedikit demi sedikit kegelisahan Anda. Selama hidup, setiap anak manusia pasti menggunakan pikirannya untuk menangkap kegelisahan. Dari gelisah itu muncul konsepsi kebahagiaan. Konsep bahagia itulah yang biasanya disebut sebagai ideologi. Renungkan ideologi mu di sana.

Asik sekaligus menyenangkan, apalagi sambil memakan buah pear. Jika suka merokok, merokoklah, dan itu akan makin menyenangkan. Tapi ingat bawa pulang puntungnya dan jangan buang di tengah jalan. Kira-kira dibutuhkan waktu setengah jam dalam perjalanan dari pintu barat Surken, begitu lembah itu biasa disebut, menuju ujung timur.

Ketika sampai di tempat yang menarik perhatianmu, yang tidak begitu jauh dari mata air, dirikanlah tenda. Ingat, jangan keburu gelap, hawa akan semakin dingin dan tenda tak akan berdiri dengan sempurna. Memasaklah. Buat makanan terbaik mu di sana. Santap dengan bergairah bersama teman-temanmu. Tubuh butuh energi.

Usai santap malam, jangan tidur dulu, walau pun lelah sangat. Tertawa-tawa dululah, seperti teman-teman di samping tenda kami. Banyak cerita mereka kisahkan, dengan bahasanya masing-masing. Hangat sekali. Dingin pun akan semakin menjadi nikmat karenanya.

Istirahat secukupnya, dan bangunlah pagi, jangan siang-siang banget. Saat bangun pasti lapar. Masak lagi dan makan lagi. Tertawalah. Senang-senanglah di pagi hari itu. Lembah Surya Kencana memang selalu penuh tawa. Tetapi, saat sinar matahari semakin meninggi di situ, Anda akan melihat betapa cinta terlihat terkoyak-koyak.

Sampah terlihat di mana-mana. Menumpuk dan berserakan ke segela penjuru dibawa angin. Para pendaki rupanya tak punya cinta. Cinta akan alamnya yang bersih. Wahai pendaki, renungkanlah, cinta itu ideologi. Renungkan sambil berjalan di lembah yang luas itu. []

Jakarta, akhir Desember 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun