Ajaran Islam jelas, yakni triple i: iman-islam-ihsan. Yang dalam prakteknya diproses dengan: qur’an-hadis-ilmu. Sehingga output dari kemusliman seseorang hidupnya semakin: sehat-sejahtera-bahagia (SSB). Dengan modal triple i dan SSB itulah seorang mukmin-muslim memiliki kualitas hidup yang akhlakul karimah, adabul musthafawiah, dan rahmatal lil alamin. Dalam konteks kehidupan dunia hendaknya seorang mukmin-muslim selalu CC (commitment and consistent) dengan pengamalan nyata dan praktek lapangan yang berupa: budi pekerti yang mulia, tatakrama yang terpilih, dan hidup yang menebarkan kasih-sayang dalam jejaring Persaudaraan Tanpa Tepi di seluruh dunia.
Di mana posisi nikah sirri? Dalam ajaran Islam yang ada ajaran mengenai nikah atau menikah. Adapun mengenai istilah sirri, yang berarti rahasia. Adalah tradisi baru yang ada di tlatah Indonesia, khususnya Jawa.
Konon “nikah sirri” sekadar untuk membedakan antara nikah yang tercatat di KUA (Kantor Urusan Agama) dan nikah yang tidak tercatat di KUA. Tetapi, sudah sah menurut Islam. Memang jika dikaji secara seksama, “nikah sirri” lalu berkembang sejalan dengan waktu dan jelajah sosial-geografis. Yang menarik dalam “nikah sirri” terdapatnya kepentingan biologis, budaya, dan agama yang terus berkembang yang menyertai perjalanannya.
Tidak usah bertele-tele. Kembalikan saja kepada prinsip menikah. Menikah itu untuk mendapatkan sekaligus merasakan ketenangan. Seorang mukmin setelah menikah harus lebih tenang. Di samping merasakan ketenangan yang nyata, juga menjadi lebih aman. Maka, jika Cara Berpikir ini yang dikedepankan, insya Allah dapat lebih arif dan bijaksana dalam memahami fenomena “nikah sirri”.
Apabila Cara Berpikir tersebut di atas yang terjadi, maka “nikah sirri” merupakan sebuah model pendekatan baru dalam kehidupan masyarakat muslim di suatu komunitas. Karenanya, keberadaan “nikah sirri” adakalanya berdampak positif, dan boleh jadi membawa dampak negatif dalam kehidupan umat manusia.
Jika menggunakan setting Cara Berpkir Islam. Apabila seorang muslim menikah hendaknya menjadikan diri dan keluarga pasangan yang menikah harus semakin: iman-islam-ihsan yang ditandai dengan kehidupan yang semakin SSB.
Dengan demikian pasangan yang baru menikah tersebut harus juga melakukan pribumisasi ajaran Islam yang berupa: akhlakul karimah, adabul musthafawiah, dan rahmatal lil alamin. Yang menjadi pertanyaan, adakah semua itu dalam praktek “nikah sirri”?
Apabila jawabannya memang ada. Berarti “nikah sirri” memiliki manfaat tertentu bagi seseorang secara subyektif. Jika jawabannya tidak. Mengapa harus menyelenggarakan praktek “nikah sirri” yang lebih banyak madlaratnya. Tidakkah sebagai seorang mukmin-muslim harus selalu CC dengan hadis Nabi saw, “Min husni islāmil mar’i tarkuhu mā lā ya’nih”.
Namun berdasarkan kenyataan di lapangan. Praktek “nikah sirri” lebih banyak tidak manfaatnya ketimbang aspek kemanfaatannya. Di mana di dalam “nikah sirri” yang menjadi “korban” selalu pada pihak ibu dan anak. Padahal dalam praktek ajaran Islam tidak ada yang harus menjadi korban dari sebuah praktek ajaran Islam.
Sekaranglah saat yang tepat untuk memiliki Cara Berpikir yang benar lagi lurus di dalam ber-Islam. Sehingga kemusliman kita melahirkan kehidupan yang SSB.
Mari “nikah sirri” dianalisis dengan SSB. Dari aspek huruf S yang pertama, yakni “sehat”. Apakah dalam praktek “nikah sirri” melahirkan para pelakunya memiliki kesehatan ruhani? Dari huruf S yang kedua, apakah dalam praktek “nikah sirri” dapat menjadikan pelakukan semakin sejahtera hidupnya? Dari huruf B, apakah praktek nikah sirri dapat menjadikan si pelaku hidupnya semakin bahagia?
Contoh satu saja dari huruf S yang pertama, yakni sehat. Sebagian besar mereka yang melakukan praktek “nikah sirri” lebih banyak “menyembunyikan sesuatu”. Yang sesuatu itu menjadi tabu jika diungkapkan. Berarti mereka yang melakukan “nikah sirri” dalam hatinya menyimpan: rasa malu, rasa takut, rasa khawatir, rasa marah, dan bentuk gejolak jiwa negatif lain. Yang kesemuanya dapat memunculkan hormon kortisol di dalam darah.
Apabila hormon kortisol sudah keluar dari sarangnya, yakni hati. Tinggal menunggu seri berikutnya dari munculnya berbagai macam penyakit di dalam tubuh. Dari sini awal seseorang mengidap penyakit di tubuhnya. Ditambah lagi pola makan dan pola hidup yang salah. Maka, mudah sekali orang itu terserang berbagai macam penyakit, akibat dari Cara Berpikir yang salah tersebut. Sampai di sini dapat disimpulkan orang yang melakukan praktek “nikah sirri” hidupnya tidak sehat, insya Allah.
Ber-Islam-lah dengan elegan. Seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Tidak usah aneh-aneh dan neko-neko. Memang kaum muslimin-mukmin diberikan ruang gerak untuk melakukan ijtihad atau olah pikir. Semua itu harus dikembalikan kepada aspek kemanfaatan dalam hidup ini.
Jika memang dapat menambah percepatan keyakinan dalam hal semakin: iman-islam-ihsan; ya kita harus mengejarnya dan mengamalkan. Juga, jika sebuah amalan ibadah itu dapat menjadikan hidup semakin SSB; ya mari diamalkan dengan semangat triangle force (Menomor-satukan Allah; Jujur; dan Ikhlas). Sehingga dari waktu ke waktu hidup kita benar-benar CC dengan: Meng-Allah-kan Allah; Me-manusia-kan manusia; dan Meng-alam-kan alam.
Kita semua harus paham bahwa di dalam praktek nikah harus mewujudkan kehidupan yang benar-benar membumikan nilai-nilai: hablum minallāh; hablum minan nās; dan hablum minal ā’alam; wa-llahu a’alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H