Tak ada yang istimewa di Ramadhanku. Walau jauh dari orang tua dan tak dapat berpuasa, berbuka dan sahur bersama keluarga, aku sudah terbiasa menjalankannya. Sejak lulus SMP aku hijrah ke ibukota untuk melanjutkan studi sekaligus menimba pengalaman sebanyak-banyaknya. Begitupun dengan ramadhan kali ini, tak ada yang istimewa. Semua aktivitas berjalan seperti biasa. Diskusi dan tumpukan paper yang dikejar deadline masih terus mendominasi hari-hariku. Ramadhan tak lagi terasa istimewa, dimana aku dapat beribadah dengan suka cita. Aku terus termakan oleh kehidupan dunia .Sampai pada suatu hari..
Aku belum sempat sahur ketika seorang seniorku di TBM (tim bantuan medis) meneleponku pagi itu. Ternyata, dia sudah berulang kali mengirimkan sms namun tak ada balasan. Salwa, seniorku itu, memerintahkanku untuk cepat datang ke kampus dengan perlengkapan lengkap. Tak ada waktu lagi, begitu katanya. Dengan tergesa berbekal sepotong roti, aku bergegas meninggalkan kontrakanku. Dalam perjalanan, aku bertanya apa yang terjadi ?apakah ada sesuatu yang tak beres ?kalau ya, apa aku harus terjun ke lapangan?. Sebagai anggota termuda di TBM pengalamanku terjun ke lapangan belumlah banyak. Mengapa tidak orang lain saja ?. Aku terus menggerutu sambil menghabiskan rotiku.
Sesampainya di kampus, ternyata anggota lain sudah berkumpul. TOP1 mereka semua. Belum terjawab pertanyaanku, tim langsung dibagi dalam 2 mobil. Dini hari itu, aku berangkat tanpa aku tahu kemana tujuannya. Barulah di mobil penjelasan diberikan. Kami akan menuju ke selatan Banten, dini hari tadi, ombak menerjang beberapa desa dimana seniorku sedang magang di sana. Beliau meminta bantuan karna tim medis yang dapat membantu jumlahnya sangat minim. Itu sekaligus sudah menjelaskan bahwa kami harus bekerja di tengah ibadah puasa dan magrib nanti besar kemungkinan akan berbuka di sana. Di tempat antah berantah yang tak ku kenal yang mungkin di dalam peta pun tak terjamah. Aku menghela napas panjang.
Dibutuhkan waktu 3 jam perjalanan darat. Mobil kami hanya dapat berhenti di kota kecamatan terdekat dan harus melanjutkan dengan berjalan kaki ataupun dengan ojek. Dan aku kurang beruntung. Ojek hanya tersedia 2 dan mereka yang beruntung menaikinya adalah yang sudah ahli dalam bidang medis. 30 menit berjalan kaki dan sampai.
Aku terhenyak melihat keadaan di depan mataku. Keadaan yang porak poranda, para ibu yang terlihat trauma dan tangis anak-anak, membuat pemandangan yang sangat menyayat jiwa. Bau ombak dicampur dengan semilir anyir darah, membuatku semakin terdiam.
“ayo kawan. Ini pengabdian. Tidak ada keluh kesah. Kita bekerja atas nama kemanusiaan dan Tuhan”, teriakan seniorku membuyarkan lamunanku.
Tim tersebar di beberapa titik dan beberapa jobdesk. Hari itu aku berkesempatan untuk berada di pos anak dan dapur. Setelah briefing, aku bergegas ke posku di bagian anak.
Miris hatiku melihat mereka semua. Ada yang terus menerus menangis, ada yang hanya termenung diam, namun ada juga yang berusaha untuk tetap tertawa. Rasanya aku ingin menangis melihat semua ini. Tapi sebagai TBM aku harus bekerja professional. Aku mulai tugasku untuk mengecek keadaan kesehatan mereka secara umum, menangani beberapa anak yang terluka dan menghibur anak-anak yang terus terdiam dengan tatapan kosong. Selepas duhur aku rolling dengan temanku. Aku menuju dapur darurat untuk membantu mempersiapkan makanan, sebagian korban yang terluka dan trauma memang tidak berpuasa. Namun ada juga yang tetap istiqamah menjalankan puasa termasuk paramedis yang bertugas.
Tak terasa, matahari mencondongkan dirinya ke ufuk barat. Waktu berbuka pun telah tiba. alhamdullilah, Tuhan masih menurunkan rizkiNya sehingga kami masih bisa berbuka puasa. Dengan makanan seadanya, semua berbuka dengan suka cita. Semua berkumpul, tak ada perbedaan, menyantap hidangan dengan lahap. Indahnya sebuah kebersamaan di tengah keterbatasan.
Musibah, bencana,anugerah, atau apapun bentuknya, semua adalah cinta. Cinta Tuhan pada umatnya. Ia dengan caraNya akan merangkul umat yang mulai menjauh dariNya dan memeluk mesra pada mereka yang mencintaiNya dengan setulus jiwa. Kita hanya dapat berusaha mengerti, namun Ia yang lebih memahami.
Kawan, Hari itu adalah hari yang tak dapat aku lupakan. Hari paling TOP1 dalam hidupku. Buka puasa paling TOP1 di sepanjang pengalamanku sebagai TBM. Suatu hari yang benar-benar membuatku lebih banyak merenung akan Kuasa Tuhan yang tak berbatas. Yang kian membuatku memperpanjang sujud-sujudku di malam sunyi tak berbintang. yang pada akhirnya mengajarkanku untuk lebih pandai bersyukur.
Di lain sisi, aku pun tertegun.
Memang benar,memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengabdian dan jalan kepedulian. Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan terjal, bukan,penghormatan manusia yang kita cari. Tapi ridha Allah lah yang senantiasa kita perjuangkan. Melihat senyum mereka, para pasien kita, adalah sebuah imbalan yang tak terkira nilainya. Semoga akusemakin istiqamah di jalanku untuk iklas membantu sesama .tetap tegak melangkah menggapai jalan menuju surga, tempat di mana dokter sudah tidak lagi perlu ada…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H