Hujan itu mantra lahir dari bibirmu yang kurapal tanpa hela napas.Â
Kukecup baitnya penuh cinta lalu terus mengalir kau tanpa jeda segaris jua.Â
Kusesap rindu, hujan adalah bilah lidahmu menampar sunyi antara jarak spasi. Disitulah aku lelakon jelata kosong terngilu gigil meresapi.
Pada derasmu berhitung detik yang dibelah butir, cuma utas dari potongan syair.
Sisa panjang untainya kucuri dari patah-patah petir, mengikat erat getar gusar dalam desisan getir. Dan masihlah aku, pemulung masa yang dijatuhkan kilat serupa takdir.
Manakala kau akan rangkumkan hujan pada sajak terbaik di tiap petikan musim yang landai basah, aku tetap menatap siaga detak isyarat hingga kau pulang pada tempo berjuluk reda.
Tapi . . .
Tapi . . .
Tapi . . .
Oh itu mendung digantung sepi.
Aku cawan memagut kosong, memeluk nyeri.