Setelah puas menyesap segala yang dibutuhkan dari tubuh saya, ia berpaling. Kini saya menekuri penampang punggung yang lena dalam sunyi.
Selalu begini pada malam-malam usai kami saling menyatu, mengerat peluk -- merapat tubuh. Ia yang takluk pada kantuk tak lagi hirau pada saya yang mesti meneliti lekuk demi lekuk semesta wajah dan tubuhnya.
Saya hafal benar rentang keningnya yang sempit, lalu alis nyaris bertaut, lalu bulumata melenting ke atas, lalu mata yang tajam kala memandang, lalu tulang hidung dengan tinggi sedang, dan bibir mengatup indah, dan dagu kecil menggantung, hingga jemari meruncing lentik.
Ia tidak pernah memahami betapa saya mengaguminya setiap hari.
Saya menarik selimut, mentabir tubuhnya dari dingin. Dengan perlahan kemudian mengecup kening beserta kedua pipinya. Amat perlahan, tidak ingin ia bangun oleh sentuhan saya.
Tiba di kepalanya saya berhenti. Memandang tiap helai rambutnya membawa saya pada hening cipta, meraba batas kagum juga syukur. Saya menghela napas, panjang. Dengan tetap terus memandang, seraya saya mengucap do'a, moga Tuhan jadikan ia anak yang tumbuh besar dalam segala bentuk kebaikan.
*Serenada cinta untuk AÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H