Shangkia hanya tersenyum. Lama mereka menyusuri pasar, tak jua Shangkia menunjuk yang diminatinya. Hingga kemudian langkah Shangkia terhenti pada sebuah petak, mulutnya nganga pada keindahan yang dilihatnya. Melihat tatapan Shangkia yang tak putus, Dunna tahu dan segera dihitungnya uang untuk ditukarkan pada pedagang.
“Kau sudah besar memang rupanya, Shangkia.” penuh senyum Dunna mengangsurkan benda itu pada Shangkia yang terus mendekapnya hingga pulang ke rumah.
Petakalah itu, benar-benar petaka. Barang yang baru pertamakali hadir di rumah mereka itu menyita segala perhatian Shangkia. Manalagi Dunna benar-benar mengizinkan Shangkia memilikinya sendiri dan membawanya ke kamar. Bidadarinya tak pernah lagi peduli apapun. Barang kesayangan barunya telah cukup bagi Shangkia, seolah ia tak butuh orang lain lagi dalam hidup.
Shangkia memandangi benda itu amat lekat, setiap saat sepanjang hari berbulan-bulan hingga nyaris mencapai hitungan tahun, dengan tatap takjub dan penuh kekaguman. Betul-betul merepotkan Dunna sebab ia harus terus menyuapi Shangkia jika tiba waktu makan atau keras membujuk kala tiba saat mandi. Benar-benar Shangkia tak ingin lagi beranjak dari benda di hadapannya. Manakala sekali waktu Dunna membuang benda itu, segera Shangkia mengamuk tiada kira.
Demi cantik kebanggaanya itu tak lagi menjadi berang, Dunna memilih mengendap pada suatu malam untuk mengambil benda keparat yang telah menghisap semata wayangnya dan menjadikannya bagai hidup sendirian. Setelah masuk dengan mengendap dan menutup pintu perlahan, Dunna mengambil dan membungkus benda itu, lalu berjalan dalam gelap demi membuangnya jauh. Sepenuh harap Dunna agar Shangkia tak lagi akan menemukannya.
Namun pagi tiba tak didapati miliknya di sana, Shangkia kembali berteriak dan kebingungan. Bingung yang juga membingungkan Dunna, sebab Shangkia menangis terus menerus seolah airmatanya tak akan dapat menjadi kering. Dunna benar-benar hilang akal demi mengalihkan kehilangan Shangkia.
“Shangkia sudah, tak dapatkah kau lupakan saja benda itu? Aku telah membuangnya saat kau tidur.” Dunna menyerah akhirnya.
Seketika mata Shangkia melebar dan menajam, menyayat Dunna di hadapannya tanpa ampun.
“Mama adalah orang yang tidak pernah mengerti jatuh cinta!” bentaknya di wajah Dunna sebelum pergi kemudian.
Dunna tertegun. Akhirnya Shangkia bicara, namun terasa amat berat baginya mencerna perkataan Shangkia. Dengan airmata berlelehan, berkali digumamkan lirih dari bibir yang mulai luntur rona merahnya sebab usia tua,
“bagaimana bisa seseorang jatuh cinta pada cermin?”