Mohon tunggu...
Lia Arrumaisha
Lia Arrumaisha Mohon Tunggu... -

Mahasiswi yang sedang bertempur dengan waktu demi memenangkan ijazah; buat amak dan abah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Cinta yang Begitu Jarang Kuhargai

23 Desember 2013   11:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:35 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nomor Peserta: 322

Bunda, entah dari mana dan bagaimana harus ku rangkai kata untukmu; semua kasih sayang dan pengorbananmu untukku, anakmu. Otak ku tak mampu memikirkan satu kata pun yang dapat melukiskan segala upaya dalam membesarkan dan mendidikku hingga kini. Apakah aku sebegitu pelupanya Bunda? Bahkan untuk mengingat setiap tetes keringat perjuanganmu pun aku tak begitu mampu.

Susah payah aku mencoba, akhirnya ingatanku membisikkan tentang cerita-ceritamu saat aku belum dilahirkan. Saat itu, usiaku masih 7 bulan dalam kandunganmu. Di saat itu pula kecelakaan yang tidak diinginkan menimpa keluarga kita. Bapak menderita luka parah, gegar otak, dan sendi tangan kiri terlepas dari bahunya. Dan Engkau Bunda, dengan luka kecelakaan dan perut yang membesar, susah payah kau pertahankan hidupmu. Aku tak tahu persis bagaimana sakit yang engkau alami. Namun menurutku, aku telah sangat menyiksa dan menyusahkanmu jauh sebelum aku dilahirkan. Benarkah itu Bunda? Aku tahu Engkau akan menggeleng dan berkata tidak, karena begitu besarnya rasa cintamu padaku…, cinta yang begitu jarang aku hargai.

Dua bulan setelah saat-saat kritis itu pun berlalu, aku pun akhirnya lahir dari rahimmu. Untuk kedua kalinya, kau merasakan sakit; lagi-lagi sakit. Tapi semua rasa sakit itu seakan kau abaikan saat melihatku terlahir sehat tanpa kekurangan. Tentu saja, aku tak ingat bagaimana Engkau memandangiku kala itu. Namun yang aku tahu, Engkau memandangiku dengan cinta. Ya, lagi-lagi cinta yang begitu jarang aku hargai.

Aku tak ingat bagaimana pertama kali aku mampu mengingat, tapi saat aku mencoba untuk memutar kembali ingatanku kala itu, Engkau dan Bapak telah sehat tanpa satu kekurangan pun. Mungkin karena aku masih sangat belia saat itu, sehingga cerita-ceritamu tentang kecelakaan tersebut hanya kuanggap angin lalu. Padahal Engkau telah berjuang dengan seluruh jiwa raga demi melahirkanku ke dunia ini. Maafkan aku Bunda yang tak mengerti arti cintamu. Cinta yang begitu jarang kuhargai.

Bunda, begitu besar arti dirimu dalam hidupku. Namun semua itu tak akan mampu kurangkaikan dalam untaian kata satu demi satu. Bukan aku tak mau, bukan pula aku tak mampu. Tetapi, bagaimana mungkin semua itu kutuliskan jika seluruh kata dan bahasa tak akan mampu mengungkapkan segala bentuk kasih sayangmu, duhai Bunda? Dengan apa akan kutuliskan cintamu yang tak akan mungkin bisa diukur serta tak memiliki batas waktu? Ya, meski kerap kali, cintamu tetap saja menjadi sebuah cinta yang begitu jarang kuhargai.

Terkadang, aku membenci diriku sendiri, mengapa aku begitu cepat mengedepankan egoku dalam menghadapimu. Seringkali, aku lebih memikirkan perasaanku di atas perasaanmu. Saat aku marah, hampir tidak pernah terbersit di benakku bagaimana perasaanmu? Apakah berdarah hatimu terhadap segala sikapku? Duh, maafkan aku Bunda. Betapa sekarang pun aku tak begitu mahir mengartikan luasnya cintamu. Benar, cinta yang begitu jarang kuhargai.

Aku begitu banyak menuntutmu untuk melakukan banyak hal bagi kesenanganku. Namun kapankah aku pernah membuat sesuatu yang membuatmu bahagia, menyelipkan bangga di hatimu? Sangat jarang sekali kan, Bunda? Ah, aku begitu malu akan jawabanku ini. Tapi beginilah adanya. Namun semua ini tak pernah membuatmu mengurangi rasa cintamu untukku, cinta yang begitu jarang kuhargai.

Bahkan saat Engkau marah, Bunda…, hati kecilku tahu Engkau tak akan pernah benar-benar marah. Tapi perasaan acapkali mengalahkan logika. Aku begitu cepat tersinggung. Ah, mengapa begitu sering aku mengedepankan ego? Mengapa sebagai anak jarang sekali aku berbakti dan menurut padamu? Bunda, bagaimanapun Engkau bukan malaikat, engkau tetap manusia biasa. Maka maafkan aku Bunda, jika dalam pandanganku Engkau tak boleh marah dan berbuat salah. Maafkan aku yang kerap buta akan terangnya cahaya cintamu…, cinta yang begitu jarang kuhargai.

Pernah saat itu, aku begitu sedih dengan ucapan banyak orang tentang skripsiku yang tak kunjung selesai. Pikiranku begitu tertekan, sempat terbersit dalam hatiku, adakah kau malu padaku Bunda? Adakah aku hanya mampu membuatmu sedih atas semuanya? Apakah aku hanya menambah bebanmu, duhai Bunda? Ya, saat itu keuangan keluarga kita memang sedang terjepit. Hingga akhirnya pertanyaan-pertanyaan nestapa dari hati itu pun meluncur dari bibirku yang putus asa. Engkau memandangiku beberapa detik, kemudian berkata bahwa Engkau masih memiliki banyak uang. Engkau mengatakan bahwa tidak ada yang harus aku risaukan. Yang harus aku lakukan adalah segera wisuda, itu saja sudah cukup. Aku tak perlu memikirkan ucapan orang lain. Ah, saat itu gerimis pun basah di pipiku. Bukan karena hal lain, bukan karena skripsi, tetapi karena ucapan Bunda yang begitu menyentuh hatiku. Engkau menyembunyikan kesedihanmu untuk menghapus kesedihanku. Ah, Bunda…, saat itu rasanya ingin sekali aku memelukmu, mengucapkan jutaan rasa terima kasih. Tetapi yang aku lakukan hanya menahan airmata yang akhirnya tak mampu lagi kubendung, mengangguk, dan berlalu. Maafkan aku Bunda, bila semua cinta dan perjuanganmu menjadi hal yang begitu jarang kuhargai.

Berkat do’amu duhai Bunda, akhirnya aku wisuda setahun yang lalu. Aku sangat bahagia saat itu. Ya, karena akhirnya aku mampu membuatmu bangga. Pernah beberapa tahun yang lalu saat kakak wisuda, setelah kakak berfoto-foto menggunakan baju toga, Engkau meminta kakak melepaskan baju toganya sebentar. Ya, engkau ingin berfoto juga dengan mengenakan toga. Saat aku bertanya mengapa, dengan polos Engkau menjawab bahwa Engkau belum pernah wisuda, jadi setidaknya memiliki fotonya saja, kemudian engkau pun tersenyum lepas. Ah, Bunda. Aku benar-benar terharu kala itu dan berjanji akan membuatmu bangga. Tetapi sungguh, aku masih belum mampu dan tak akan mampu membalas cintamu…, cinta yang begitu jarang kuhargai.

Setahun setelah wisuda, aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Rasa malu dan rendah diri mulai menghinggapi hatiku. Ya, seperti perasaanku dulu saat kuliahku masih tak belum selesai. Tapi Bunda, Engkau tak pernah menghancurkan hatiku. Selalu Engkau sirami jiwaku dengan semangat dan kesabaran. Engkau mengingatkanku bahwa masih banyak orang lain yang lebih susah hidupnya dari aku. Duhai Bunda, siapakah lagi yang mampu menenangkan hatiku jika bukan Engkau? Siapakah lagi yang mampu mengubah airmata kecewaku menjadi senyum sukacita? Tak ada yang mampu duhai Bunda. Hanya Engkau yang sanggup menjadi segalanya bagiku sedari dulu hingga nanti tak berbatas masa. Hanya Engkau seorang yang memiliki jiwa dan cinta sebesar itu, Bunda. Tetapi, kerapkali cintamu menjadi cinta yang begitu jarang kuhargai.

Maafkan aku Bunda, maafkan aku yang bodoh tentang cara berterima kasih. Padahal aku tahu, hal-hal kecil yang kulakukan di rumah cukup untuk membuatmu senang. Rumah yang bersih, membantumu mencuci piring dan memasak sudah cukup untuk mengembangkan senyummu setiap hari. Maafkan aku Bunda, bila seringkali kuabaikan semuanya. Maafkan aku yang senantiasa melupakan arti cintamu. Ya, sekali lagi cinta yang begitu jarang kuhargai.

Lihatlah aku kini Bunda. Makhluk mungil dari rahimmu telah tumbuh dewasa. Dua puluh tiga tahun sudah Engkau mengayomiku. Di saat yang sama pula, Engkau telah menua. Aku begitu sibuk mengurus diriku sendiri hingga kerapkali lupa padamu. Seharusnya aku telah mampu mandiri dan membantumu dalam banyak hal. Tapi, aku masih saja meringkuk dalam lindunganmu. Tetapi hal ini tak pernah mengubah apapun, terutama tentang cintamu. Ya, cintamu masih sama…, masih membara penuh kasih sayang. Meski kerapkali, cinta itu menjadi cinta yang begitu jarang aku hargai.

Bunda, dibalik semua amarahku, sikap kasarku, dan hal-hal bodoh lainnya yang aku harap tidak pernah terjadi…, Engkau harus mengetahui bahwa aku sungguh amat sangat menyayangimu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi aku berharap dapat membahagiakanmu sebelum Allah memisahkan kita di alam berbeda. Betapa banyak teman-temanku yang tidak memiliki orangtua lagi. Tetapi Allah masih memberikanku izin untuk menatapmu, melihatmu, berbicara denganmu, tertawa, bahkan mendengarmu mengomel hingga saat ini. Aku seharusnya dapat menghargai setiap waktu yang kuhabiskan bersamamu; momen apapun itu. Aku bersyukur pada-Nya karena Engkau masih di sini bersamaku, bersama kami semua. Walaupun selama ini aku masih belum mampu membalas segala curahan kasih sayang dan cinta yang kau beri…, percayalah Bunda, seterusnya cintamu akan selalu menjadi cinta yang senantiasa kuhargai.

Terimakasih, Bunda.

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community.

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community (link : https://www.facebook.com/groups/175201439229892/)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun