"Tidak, Om Broto pergi merantau tepat pada hari pernikahan mama. Ia baru pulang setelah mengetahui papaku meninggal. Mereka kembali berpacaran dan menikah, lalu Om Broto membawa kami pindah ke Jakarta ini. Usiaku enam belas tahun saat itu."
"Apakah Om Broto mengetahui mamamu hamil?"
Kau kembali menggeleng.
"Katanya tidak. Ia baru tahu setelah menikah dengan mama. Mereka diam-diam melakukan tes DNA itu. Mereka mencocokkannya dengan rambutku di sisir di kamarku. Mereka sepakat merahasiakannya dariku."
"Mungkin ada alasan tertentu," gumamku tak yakin.
"Katanya mereka tak ingin membuatku oleng," balasmu sedikit gusar.
Aku tertawa kecil.
"Setahun ini kuhabiskan dengan introspeksi diri. Jiwaku bergejolak, antara pro dan kontra. Saat itu, aku membiarkan Om Broto pulang tanpa berkata apa-apa. Kini aku memutuskan untuk bersikap dewasa. Aku memiliki sepasang orangtua kandung, masih hidup. Mereka bahagia, saling mencintai. Seharusnya aku bersyukur. Nikmat mana yang telah kudustakan?"
Aku tak menyahut.
Suasana menjadi hening sesaat. Pikiranku mengembara tak bertepi.
"Kina, maukah kau ... menikah denganku?" tanyamu tiba-tiba. Kau menarik kedua tanganku dan menatapku tegang. Tanganmu terasa sedingin es.