Angin dingin menyapu wajahku. Sayup-sayup kudengar alunan kidung puji-pujian. Udara dipenuhi dengan aroma dupa dan beraneka bunga. Aku merinding.
"Ma, Kak Zoya menangis." Kudengar suara Theo adikku.
Aku membuka mata lalu menutupnya kembali karena silau cahaya lampu. Ruangan ini terlalu terang benderang.
"Ma---, " panggilku pelan. Suaraku terdengar kasar, tenggorokanku sakit sekali.
"Zoya? Kamu hidup kembali, Nak?" pekik mama tak percaya, "panggil dokter. Theo, panggil dokter!"
Aku heran, kubuka kembali mataku. Ada banyak orang mengelilingiku. Aku berusaha menggerakkan tangan, tetapi terasa berat. Aku menoleh dan terkejut. "Kenapa aku ada di dalam peti? Ma---! Pa---!" teriakku parau.
Om Kevin datang memeriksa. Ia menyenteri kedua mataku dan memeriksa denyut nadiku.
"Zoya masih hidup, Bu. Tolong keluarkan dia, beri minum dan udara segar. Gadis ini mengalami mati suri. Dia baru saja bangkit dari kematian," kata dokter itu tegas.
Papa menatap tak percaya. Ia bergegas mengangkatku dan menurunkan di atas sofa di samping peti. Theo mengintip takut-takut dari belakangnya. Mama lalu memberiku air mineral sambil menangis haru.
"Apa yang terjadi, Ma? Di mana ini?" tanyaku lagi.
"Kita di rumah duka, Sayang. Kamu jatuh dari tangga tadi pagi dan tidak sadar. Saat tiba di rumah sakit, kamu dinyatakan meninggal. Maaf, Sayang, kami tidak tahu. Kami memasukkanmu ke peti mati ...." Tangis mama kembali pecah.