Ini cerita tentang seseorang yang kukenal. Sebut saja namanya Mawar. Ketika itu, dirinya sudah lama berumah tangga dengan Heru (nama samaran), yang juga temanku. Setelah sembilan tahun dalam pernikahan, akhirnya mereka dikaruniai seorang bayi perempuan yang cantik. Dokter menyebutnya sebagai bayi emas, karena perjuangan yang cukup panjang untuk mendapatkannya. Dari semasa hamil hingga melahirkan secara sectio caesar, Mawar sangat berhati-hati menjaga kesehatan dirinya.Aku ingat, saat mengunjunginya di rumah sakit. Mawar melarangku berdiri dekat-dekat dengan bayinya. Katanya karena aku dan suami datang dari luar ruangan. Dia tak ingin bayinya terkontaminasi kuman yang mungkin menempel di pakaian kami. Saat itu aku meledeknya. Bagaimana mungkin dirinya sebagai orang yang berkecimpung di bidang kesehatan bisa berpikiran seperti itu?
Namun, setelah pulang ke rumah, ternyata Mawar semakin over protektif. Ia melarang Heru mendekati putri mereka jika belum mandi dan berganti pakaian. Padahal kala itu belum ada pandemi Covid 19. Mawar selalu mencuci tangan, berkali-kali dengan sabun hingga tangannya mengelupas karena terlalu sering digosok kuat-kuat. Ia bolak-balik merebus botol susu dan mengeringkannya, mensterilkan peralatan bayi. Ia sangat khawatir putrinya terpapar bakteri. Ia selalu mencuci semua peralatan makan, menggosok meja makan hingga mengkilap, membuat segala sesuatunya sangat bersih dengan cara yang berlebihan.
Â
Suaminya sedikit mengeluh saat aku berkunjung ke rumah mereka. Mawar pun mengakui bahwa dirinya merasakan cemas yang berlebihan. Ia takut bayinya jatuh sakit. Seringkali ia terbangun tengah malam untuk memeriksa napas putrinya. Sahabatku itu tahu perilakunya mulai menyimpang. Namun, dirinya tak kuasa melawan dorongan obsesif itu.
Aku menyarankan mereka mencari bantuan ke dokter spesialis jiwa. Kebetulan teman kami ada seorang psikiater. Kami membuat janji temu berempat, karena Mawar memintaku untuk menemani. Dokter mendiagnosanya mengalami Post Partum OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Menurut sang dokter, kondisi setelah melahirkan tidak menyebabkan seseorang terkena OCD. Namun, dapat menjadi pemicu timbulnya gangguan jiwa itu. Ia memberikan obat-obatan jiwa untuk mengurangi dorongan obsesi kompulsif.
Mawar sangat beruntung memiliki suami dan keluarga yang mendukung. Ia berhasil menjaga keseimbangan mental dan jasmaninya. Kini putri mereka telah berusia lima tahun dan bersekolah di TK B. Ia tumbuh sehat, cerdas dan ceria.
Sampai saat ini, Â temanku itu masih kontrol sesekali ke psikiater. Tak perlu merasa malu untuk berobat jiwa. Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) bukan untuk dijauhi. Mereka butuh dukungan dari teman dan keluarga. Stop stigmatisasi. Karena tak ada seorang pun yang mau terlahir sebagai ODGJ. Deteksi dini akan sangat membantu.
Kotabaru, 10 Oktober 2022
*Memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa.
Catatan: Â Tulisan ini sudah seizin yang bersangkutan. Bertujuan untuk edukasi dan mendukung kesehatan jiwa.
          Tulisan ini pernah tayang di facebook pengarang dan grup literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H