Mohon tunggu...
Ronny Mailindra
Ronny Mailindra Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis

Penulis thriller, fantasi, dan silat. Bekerja sebagai programmer Blog: http://mailindra.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Kritikus: Sangkuriang (Bagian 1)

22 Juli 2013   11:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:12 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: R. Mailindra (twitter: @mailindra ) Gambar: sumber wikipedia

Kabut putih di depanku kian menipis. Guncangan-guncangan juga semakin mereda. Tapi kekesalanku belum juga sirna. Ampun, susahnya. Kekesalanku semakin menebal saat tawa dan ejekan kembali berputar di kepalaku. Klise, tuan, hanya tukang foto keliling yang pakai. “Sontoloyo!” Dimaki begitu dia malah tergelak. Dan, spesies mereka juga hampir punah. Ia tertawa lebih keras lagi. Aku menggeretakkan rahang. Darahku serasa mendidih. Mungkin kini asap telah mengepul di ubun-ubunku. Ingin kubongkar kebon binatang dan melempar nama-nama penghuninya ke muka penulis picisan itu. Sialnya aku malah terdiam. Ampun. Ah, sudah berapa cerita yang kulewati? Dua mungkin. Tapi mengapa seperti sudah beratus-ratus? Kini kabut dengan cepat menghilang. Pijakanku juga semakin mantap. Begitu warna putih di sekelilingku menghilang, tampaklah segerombolan makhluk. Aku terbelalak. Penampilan mereka membuatku merinding: sebagian mempunyai bulu bergumpal-gumpal, ada yang bertandung, bertaring, serta bercakar. Aku menelan ludah lalu surut selangkah. Bulu kudukku mungkin sudah serupa bulu landak. A-pa itu? Kukerjapkan mata namun keanehan itu tidak menghilang. Sebenarnya yang kusebut aneh bukan hanya makhluk-makhluk itu, namun juga pandanganku. Di mataku semuanya tampak kehijauan—seperti sedang memakai kacamata night vision. Aku mencoba mengenali tempat ini. Luar angkasa? Alien-kahitu? Science fiction pasti, pikirku spontan. Ah, ini tentu lebih baik dari cerita sebelumnya. Paling tidak aku bisa memperkenalkan ide-ide ajaib di sini. Lihat saja, perempuan itu pasti melongo melihat kecanggihannya. Tapi, mengapa ada sungai berbatu? Aku tak sempat memikirkan jawabannya karena harus terlonjak. Semuanya buyar gara-gara suara berdebum diiringi kecipak air yang sekonyong-koyong menyeruak. Sontoloyo, ternyata sesosok makhluk sebesar kuda dengan rambut awut-awutan baru saja melemparkan sesuatu ke aliran sungai. “Kalapitung. Hei, tong bengong wae maneh!” teriak suara di sebelah kanan. Kalapitung? Makhluk bodoh mana pula yang punya nama itu. Rasanya aku pernah mendengarnya. Tapi di mana? Ingatanku berjalan mundur, mencari sesuatu yang bisa dikenali. Layar Terkembang? bukan; Mahabarata mungkin? juga bukan; Star wars kalau begitu?  jelas bukan. Yang pasti itu nama dari masa lalu. Semacam dongeng sepertinya. Dongeng? Ampun, hari begini masih ada yang suka dongeng? Benar-benar keterlaluan. Mereka pantas diawetkan dan dipajang di museum. Oh, tunggu dulu, jangan-jangan .... “Kalapitung, hei...!” Tiba-tiba kudengar desisan di belakangku. Seperti desisan ular namun lebih samar. Belum sempat aku melakukan apapun, tubuhku seperti diseruduk. Aku tersungkur dan tertelungkup. Saat kuangkat wajah, suara tawa berkumandang. Sialan, keluhku. Apa itu barusan? Kuelus kepalaku dan kuusap wajahku. Ketika melakukannya terlihatlah keanehan di tanganku. Ampun, mengapa buluku begini banyak? Aku memang tak pernah mencukur lenganku, tapi sejak kapan mereka tumbuh menggila? Memang, lenganku tampak jauh lebih berotot, itu sedikit membanggakan, tapi … wah, tanganku bercakar? Sungguh mengerikan. Bagaimana kalau hidungku gatal, repot benar ngupil dengan kuku sepanjang ini. Kuraba wajahku. Cermin, cermin, aku harus lihat mukaku. Kuputar kepala, mencari cermin, namun yang kudapati makhluk-makhluk mengerikan sedang terkekeh menatapku. “Hei, Kalapitung, jangan bengong!” sesosok makhluk berambut gimbal dangan taring bercabang tiga tiba-tiba berdiri di depanku. Ini mungkin salah satu mimpi terburukku. Dipanggil dengan sebutan jin jelek. Belum pernah ada yang seberani ini menghinaku. Kutatap dia. Dia berkacak pinggang. Sombong betul. Pastilah dia yang tadi membokongku. Entah bagaimana caranya. Sebenarnya ingin kuhajar mukanya. Tapi aku takut juga. “Sangkuriang mau danau ini beres sebelum ayam-ayam berkokok!” Sangkuriang? Oh, tidak. Ampun! Sungguh tidak modis. Ini benar-benar keterlaluan. “Maneh angkat batu sebelah barat dan bendung alirannya. Sedikit lagi kita beres. Ngartos? “Ini sia-sia. Tak akan berhasil. Aku hapal cerita ini. Sebentar lagi ....” “Cerita?” potong makluk itu. Ampun. Haruskah kujelaskan? Pengalaman di dua cerita sebelumnya mengurungkan niatku mendebatnya, apalagi harus menjelaskan situasiku kepada makhluk tongos bertanduk di gigi ini. Tampaknya si jelek ini arogan sekali, jadi lebih baik aku menurut. “Baiklah!” jawabku lesu dalam bahasa Sunda. Mungkin ini salah satu keuntungan dari jebakan ini. Aku tiba-tiba fasih berbahasa sunda—sebenarnya bahasa apa pun. Setelah dua cerita, tentu saja keherananku sedikit berkurang. Aku berjalan ke barat. Baru beberapa langkah, sesosok makhluk agak ceking bermata tiga menghadangku. “Kalapitung,” katanya, lalu mulutnya seperti mengunyah sesuatu, “tadi itu benar-benar keterlaluan!” Ia berhenti sesaat lalu mengaruk-garuk perut, “dia permalukan kau, berarti dia permalukan semua guriang penjaga hutan!” Aku berhenti, menatapnya setengah tidak percaya. Mata tiga, ceking, dan kepala plontos. Mungkin inilah makhluk fantasi paling menyedihkan—gabungan memilukan antara gembel, copet ketangkap, ondel-ondel, dan ikan sapu-sapu. Kalau saja bisa kurekam dan pamerkan di youtube, makhluk ini bisa mendadak terkenal. “Kita harus tuntut balas,” lanjutnya. “Lagipula kita tak pernah angkat dia jadi ketua? Kebetulan saja Sangkuriang menyuruhnya. Ini agak menarik. Balas dendam. Pembangkangan. Ada yang menolak membantu Sangkuriang karena berselisih. Aku menutup mata, berpikir, lalu membukanya kembali. Ah, tak akan cukup. Paling hanya jadi side story. Aku butuh lebih dari itu. Aku perlu perubahan plot! Setelah mengibaskan tangan, aku pun berbalik dan melanjutkan langkah. Ketika makhluk itu memanggilku lagi, kuangkat jari tengahku. Sebenarnya tidak tepat tengah, karena aku punya enam jari. Tapi siapa perduli. Ia pasti tak akan mengerti. Apa bagusnya dongeng Sangkuriang ini? Ceritanya aneh dan punya banyak kebetulan. Aku benci kebetulan, tapi mengapa pula aku memilihnya? Sudah puluhan tahun aku tidak membaca dongeng. Memang, aku pernah menggandrunginya. Tapi itu dulu, sewaktu kecil. Seingatku dongenglah yang membuatku terus memaksa ayah dan ibuku bercerita. Ketika stok cerita mereka habis, mereka memberiku komik dan novel. Mungkinkah dongeng yang membuatku begini? Entahlah. “Ya, kau angkat batu sebelah sana, Kalapitung! Cepat lempar ke sungai!” teriak suara itu—suara makluk yang tadi membokongku. Sontoloyo, enak saja dia perintah-perintah. Bagaimana kalau kulempar batu-batu itu ke jidatnya. Atau kulepar saja ke Sangkuriang, atau ibunya? Kalau mereka mati ketimbun batu, kan, ceritanya jadi beda? Tentu akan beda, tapi apa jadi lebih bagus? Bagaimana kalau lebih jelek? Kematian mereka cuma akan memperlama waktuku di tempat terkutuk ini. Ampun, harus bagaimana ini? Setengah putus asa kuambil batu sebesar kerbau lalu kulemparkan ke arah sungai. Lumayanlah, sedikit menghibur menyadari aku punya kekuatan sebesar itu. Dengan mudah aku mengangkat dan melempar batu sebesar itu. Luar biasa, benar-benar ngibul cerita ini! Tapi begitulah. Mungkin di sanalah nikmatnya menulis. Kubayangkan seorang penulis pasti terus menerus terperangkap dalam cerita yang sedang ia kerjakan. Bermimpi sepanjang waktu sambil menyusun kebohongan demi kebohongan. Harusnya itu menyenangkan, bukan? Tapi, mengapa perempuan itu menjebakku? Aku ingat sedang ada di kereta api sebelum semua kejadian aneh ini. Ia duduk di sebelahku dan kami berkenalan. Seingatku wajahnya manis, walau tidak terlalu cantik. Entah siapa yang memulai, kami pun ngobrol dengan enak. Ia bilang tidak pernah melewatkan tulisan-tulisanku. Dan, resensiku yang terakhir, membuatnya tak bisa tidur. Oh, perempuan ini punya selera bagus, sungguh sebuah kebetulan yang menyenangkan. Setelah sekitar satu jam, dia menawariku coklat. Katanya khas Swiss. Rasanya memang agak beda dari coklat-coklat yang biasa kumakan. Tidak terlalu manis dan lebih banyak pahitnya. Malah menurutku rasanya lebih mirip kopi daripada coklat. Setelah habis beberapa gigitan, kepalaku terasa lebih ringan. Sepertinya obrolan kami juga semakin lancar. Terakhir yang kuingat ia tersenyum. Manis sekali. Kupikir ia tampak seperti bidadari. Lalu, dengan genit ia mengedipkan mata kirinya, menyentuh lenganku, dan berkata, “Boleh aku menciummu?” Aku terperanjat, tak siap menjawab. Setelah itu, tiba-tiba saja aku sudah berada di ruang serba putih. Selagi kebingungan, kudengar suara perempuan itu menggema: “Masuklah ke dalam cerita favoritmu!” Apa-apaan ini? Belum sempat kutanyakan itu, tiba-tiba saja aku sudah di tengah pertempuran Robin Hood—cerita kesukaanku. Begitulah, ia lalu berkata, aku harus bisa mengubah jalan cerita Robin Hood menjadi lebih menarik kalau ingin kembali. Kembali? Perintah macam apa itu? Ini sungguh tidak adil. Menarik atau tidak itu sangat relatif. Itu hak prerogatif pencerita. Seperti bisa mendengar pikiranku, perempuan itu tertawa. “Tak disangka kritikus seulung tuan bisa berkata demikian. Lupakah tuan dengan semua kritikan tuan? Ingatlah, betapa gagah dan terpelajarnya tuan ketika mengkritik novel, novelku!” Sontoloyo, ternyata ia memang bisa mendengar pikiranku. “Hei!” sebuah teriakan membuyarkan lamunanku, “kalian dengar itu?” Suara kentongan terdengar. Seingatku itu berarti cerita Sangkuriang ini mendekati akhir. Sebentar lagi api besar akan terlihat di timur—dekat pemukiman. Orang-orang kampung akan memukul segala macam yang bisa dipukul, para guriang akan kabur, dan seterusnya. Kalau kubiarkan, cerita ini akan berakhir sebagaimana aslinya. Lalu aku harus apa? Apakah sebuah cerita bisa diubah seenaknya? Ataukah ia akan mengalir begitu saja? Ah, kalau hal ini kutanyakan ke sepuluh penulis, mungkin akan muncul sebelas pendapat. Entahlah, aku bukan penulis cerita. Aku kritikus. Tapi, bukankah selalu ada alternatif? Paling tidak begitulah teorinya. Bagaimana kalau si Dayang Sumbi itu aku culik saja? Aku menertawai ide itu. Betapa konyolnya. Pasti gagal melawan begini banyak guriang. Lagipula, melihat jumlah jin yang tunduk, Sangkuriang itu pastilah amat sakti. Dan, kalaupun berhasil, mau aku bawa ke mana cerita ini? Memelet Dayang Sumbi, lalu kami menikah, dan anak-anak kami memerintah seluruh Jawa? Ampun, ini jauh lebih buruk dari aslinya. Atau, aku ubah saja muka Si Sumbi itu jadi seperti Mak Lampir? Bah, tak kalah konyolnya; sekonyol muka Mak Lampir. Lagipula, aku belum tahu, apa karakter yang kupakai ini mampu melakukannya. Bukankah setiap cerita, se-fiksi apapun, pasti punya logika? Tapi, seharusnya kesaktianku jauh di bawah Sangkuriang. Dan, kalaupun berhasil, apakah itu akan membuat pemuda itu membatalkan niatnya? Lalu bagaimana pula akhir ceritanya? Ampun, aku tak punya waktu. Suara kentongan terdengar semakin nyaring. Di timur kulihat cahaya semakin terang. Trik bodoh sebenarnya. Dan, aku cukup heran mengapa orang-orang dahulu bisa dibodohi dengan teknik murahan seperti itu. “Lihat, fajar tiba,” teriak sesosok di belakangku. “Itu bukan fajar, bodoh!” sergahku. Namun tidak ada yang mempedulikan. Mereka resah dan sebagian mulai meninggalkan sungai. Aku berlari ke arah sebuah pohon besar. Dengan segenap tenaga kucabut pohon itu lalu kulemparkan ke arah kerumunan jin, dedemit, dan entah makluk buruk rupa apa lagi yang ada di sana. Mereka menghindar. “Hei, Kalapitung. Maneh dah gila?” “Dengar wahai cecunguk-cecunguk!” teriakku. Sengaja suara kubuat seberat dan seserak mungkin. ”Siapa yang berani meninggalkan tempat ini harus berhadapan denganku! Dengar, aku mau permintaan Sumbi selesai tepat waktu!” Mereka saling bertatapan. “Tunggu apalagi, cepat kerja, bodoh!” Aku berkacak pinggang. “Mana Sangkuriang, dia juga harus kerja. Calon istriku tidak boleh kecewa.” Makhluk-makhluk itu terdiam. Lalu perlahan mundur. Aku tersenyum. Mereka pasti kaget. Baru tahu aku bisa sangat serius rupanya. Dari belakang kudengar desisan. Ah, masa sih aku kecolongan dua kali? Keledai pun tak akan, dan aku pasti lebih pintar dari keledai. Aku menjatuhkan badan, berguling ke kiri—ke arah batu besar, lalu menyabetkan tangan kanan. Batu sebesar lemari meluncur deras ke arah pembokongku. Aku tersenyum. Luar biasa, cerita ini benar-benar ngibul. [BERSAMBUNG]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun