Mohon tunggu...
Ronny Mailindra
Ronny Mailindra Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis

Penulis thriller, fantasi, dan silat. Bekerja sebagai programmer Blog: http://mailindra.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menulis Cerita, Sebuah Kegiatan yang Tidak Alami

11 Agustus 2013   10:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:26 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: R.Mailindra (twitter: @mailindra)

Sumber gambar: Wikipedia “Everything in boxing is backwards.” Segala hal dalam tinju adalah kebalikan. Kalimat itu muncul di film Million Dollar Baby, sebuah film drama olahraga yang diangkat berdasarkan sebuah buku dengan judul yang sama buah karya F.X Toole. Dalam film itu, pernyataan tentang tinju itu diikuti dengan adegan yang menunjukkan kebenaran pernyataan tersebut. Jika petinju ingin bergerak ke kiri, ia tidak melangkah ke kiri tetapi menekan jempol kaki kanan, demikian pula jika ingin bergerak ke kanan, petinju akan menekan jempol kiri, dan yang lebih parah, alih-alih lari dari rasa sakit—seperti yang seharusnya dilakukan oleh kebanyakan orang—seorang petinju justru masuk dan mendekati biang rasa sakitnya, yaitu lawannya. Film dan buku itu jelas berasal dari penulis yang tahu seluk beluk dunia tinju. Dan memang F.X Toole adalah nama pena dari Jerry Boyd. Ia sudah bertahun-tahun menjadi pelatih tinju sebelum menuliskan Million Dollar Baby. Tindakan yang dilakukan oleh para petinju itu jelas tidak alami, demikan pula saran dan nasehatnya. Saran tersebut mengingatkanku akan nasehat untuk mahir menulis cerita. Jika dipikir-pikir, nasehat untuk para petinju itu tak jauh berbeda dengan saran untuk penulis fiksi. Paling tidak begitulah yang aku rasakan. Seperti kebanyakan penulis pemula, aku juga mengalami kesulitan memulai tulisan. Bisa bengong cukup lama menatap layar kosong dan kursor yang berkedap-kedip sementara kepala mencari-cari kata atau kalimat pembuka yang tepat. Itu hal yang menjengkelkan dari menulis cerita. Anehnya, jika tiba-tiba ada ide yang menyambar kepala, yang datang entah darimana, aku merasa seperti orang yang kebelet. Buka komputer dan kalimat menyembur seperti air bah. Begitu mudah dan mengalir. Mungkin itu sebabnya penulis pemula seperti aku malas menulis jika tak ada ide yang muncul. Gambaran akan menghadapi layar kosong dengan kursor yang berkedip mengejek sungguh mengerikan. Tetapi, para penulis profesional justru menyarankan untuk menulis dengan teratur meski sedang tidak sedang ingin menulis, terutama jika sedang tidak ingin menulis. Awalnya kupikir itu saran aneh. Sebuah nasehat untuk melakukan tindakan tidak alami. Namun setelah mencobanya, aku bersukur pernah menemukan nasehat itu karena aku tak mungkin selalu menunggu dewi inspirasi untuk datang, tersenyum, dan dengan tongkat ajaibnya berseru ‘Abrakadabra’. Sang dewi bisa saja datang kepadaku sekali setahun saat aku rapat di kantor atau sedang berada di sebuah tempat yang tidak memungkinkan untuk menulis. Maaf ya Dewi cantik, daku tak mungkin mengandalkanmu. Setelah mengalami sendiri betapa sulitnya menulis ketika tidak ada kalimat pembuka yang bagus namun merasakan betapa mudahnya kata-kata keluar ketika ide dan kalimat pembuka sudah tertulis di layar, aku jadi berpikir sepertinya nasehat para professional itu merupakan bagian dari hukum alam. Newton dalam hukum geraknya mengatakan: Sebuah objek yang diam akan tetap diam kecuali ada gaya yang membuatnya bergerak. Sebuah objek yang bergerak akan terus bergerak kecuali ada gaya yang menghentikannya. Nasehat berikutnya yang pernah kudapat adalah: berhentilah menulis selagi masih ada yang ingin ditulis (nasehat ini kudapat dalam konteks menulis novel atau tulisan yang panjang). Nah, nasehat ini bukan saja tidak alami, tapi gila. Penjelasan saran tersebut adalah: dengan masih adanya hal yang ingin ditulis akan membuat niat untuk melanjutkan tulisan keesokan harinya menjadi kuat dan membuang sampai tuntas rasa takut mengadapi layar kosong dengan kursor yang berkedap-kedip genit mengejek. Lihatlah, saran ini juga bagian dari hukum newton: benda bergerak akan terus bergerak! Setelah sekian lama mempelajari skill menulis membuat aku sadar betapa tidak alaminya skill ini. Coba perhatikan buku-buku cerita yang bagus. Mereka menjadi menarik karena berisi kesalahan yang dilakukan para tokoh dalam cerita, konflik gila, atau bahkan tokoh-tokoh yang bertindak aneh. Para pembaca tergelitik dan penasaran dengan kehidupan tidak alami di cerita itu. Dan nasehat lain yang pernah aku dapat adalah: untuk membuat cerita yang bagus, jangan pernah mengelak dari masalah. Penulis yang baik selalu mencari masalah untuk para tokoh ceritanya. Semakin buruk masalah semakin bagus cerita. Jika misalnya sang jagoan sedang bergelantungan di pinggir tebing dengan luka parah di tangannya, jatuhkan batu kepadanya atau lebih bagus lagi kirimkan angin topan kepadanya. Usaha jagoan itu untuk keluar dari masalah akan membuat pembaca enggan melepas bukunya. Liatlah betapa absurd dan tidak alaminya saran-saran menulis. Di kehidupan sehari-hari kita belajar untuk menghindari masalah. Kita bekerja keras, belajar dengan keras, dan berusaha melakukan segala hal dengan sempurna untuk menghindari masalah. Tapi, untuk menjadi penulis cerita yang bagus, disarankan untuk mencari masalah. Gila ngga? Semua hal tersebut membuatku berpikir, mengapa orang-orang suka membaca nasib buruk yang dialami para tokoh dalam cerita. Beberapa penulis mengatakan hal tersebut dikarenakan pembaca ingin diingatkan betapa beruntungnya mereka dengan melihat ke bawah, kepada orang-orang yang nasibnya lebih buruk dari mereka. Penulis yang lain mengatakan bahwa pembaca ingin mengetahui bagaimana manusia bertahan dari masalah. Namun aku berpikir keanehan dan ketidakalamian pada cerita mungkin saja mewakili sesuatu yang selalu kita coba hindari. Secara tidak sadar, ketika manusia tumbuh, kita diajarkan untuk bertindak tidak alami. Jika sedih dinasehati untuk tidak menangis, minimal tidak menunjukkan kesedihan; ketika marah harus mengendalikan diri, minimal tidak menunjukkannya. Hal serupa berlaku untuk emosi yang lain seperti jatuh cinta, kesal, keberatan, dan lain-lain. Pada akhirnya aku jadi berpikir, bisa jadi kehidupan normal dan alami yang kita lakoni tidaklah senormal dan sealami yang kita pikirkan. Bisa jadi kehidupan tidak alami di cerita fiksi adalah kehidupan normal sebenarnya. Suatu ketika guru menulisku berkata: fiksi itu lebih nyata dari kehidupan nyata. Di kehidupan nyata sesuatu yang tidak logis bisa saja terjadi, tapi dalam fiksi segala hal harus logis jika ceritamu ingin dipercaya (kupikir ia menyadur kalimat milik Hemmingway). Ketika mendengar nasehat itu satu hal yang terpikir olehku. Orang ini sudah sinting. Itu nasehat sinting. Dan sampai sekarang aku masih berpikir itu nasehat sinting. Hanya saja saat ini aku ikut-ikutan melakukan dan menyebarkannya. *** R.Mailindra Bandung, 11 Agustus 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun