Telah kita sebutkan sebelumnya bahwa mata pelajaran adab sudah bukan lagi sesuatu yang bersifat basa basi, tapi sesuatu yang penting demi menjaga agar akal tetap bekerja sebagaimana mestinya.
Belajar itu adalah suatu ransangan yang diterima panca indra, disaring perasaan dengan cara yang bernama adab dan diteruskan ke akal untuk berlogika. Ketiadaan adab, berarti tidak ada penyaring informasi sebelum sampai akal. Akal pada prinsipnya sangat senang menerima ransangan-ransangan apapun dari panca indra, tidak peduli berapa banyaknya, berapa kapasitasnya, karena memang begitulah hakikat akal, lalu dari setiap ransangan akan di telaahnya dan dibuat kesimpulan. Hingga jika ada ransangan yang sama lagi suatu saat datang, dia sudah bisa memperkirakan apa yang akan terjadi dan bagaimana hasilnya.Â
Sedangkan hati tempat bermuaranya adab, sangat berlainan cara kerjanya dari akal. Hati lebih suka dengan segala sesuatu yang indah-indah, merdu, halus, harum, manis, intinya sesuatu yang menyenangkan dan sangat sensitif dengan hal sebaliknya. Hati paling tidak suka jika dia didustai, diduakan, ditiadakan, dia ingin selalu dianggap ada, dan tak ingin diremehkan.Â
Oleh karena itu pendidik yang baik harus mengetahahui hal ini. Dia tahu bagaimana bersikap dengan anak didiknya. Demi membuka saringan perasaan proses pemindahan ilmu dari ransangan menuju akal pada anak didik. Dia harus tahu bagaimana cara membujuk agar katup saringan itu terbuka. Dengan adab dia tahu bagaimana cara berkata yang halus dan manis, dia tahu bagaimana mengatur intonasi suaranya, dia tahu bagaimana memuji anak didiknya hingga perasaannya menjadi senang dan katup perantara ransangan dari panca indra ke akal pun terbuka. Akal si anak didik dengan senang menerima segala informasi yang disampaikan. Dan proses perpindahan ilmu pun dapat tersampaikan dengan mudah.Â
Untuk tercapainya tahap seperti itu, setiap bagian harus tahu bagaimana cara bersikap dari posisinya masing-masing. Seperti anak didik menghormati pendidik karena pendidik dituakan, dan karena pendidik adalah orang yang akan memberikan ilmu kepada mereka. Anak didik harus bersikap sopan, menjaga intonasi bicara, menjaga pandangan terhadap pendidiknya, sehingga pendidik merasa nyaman dan timbullah rasa untuk mengimbangi sikap anak didik tadi dengan bersikap lemah lembut saat menyampaikan informasi, memujinya, menghukumnya jika bersalah dengan cara yang tidak menghinakan.Â
Tapi jika adab dikesampingkan, yang tinggal hanya akan saling menjaga ego. Anak didik melihat sinis ke pendidik, berkata kasar dengan suara keras, bertanya tentang sesuatu yang sifatnya hanya menguji dan lain sebagainya untuk menghinakan pendidik. Pendidik yang tidak terima diperlakukan seperti itu, pasti membalas karena jiwanya tidak ingin di remehkan. Sang pendidik akan menyampaikan ilmu sekenanya, dia tidak peduli apakah anak didik akan memahaminya atau tidak, suaranya pun tidak kalah keras saat menjawab pertanyaan anak didik dengan nada lebih meremehkan. Sampai akhirnya anak didik diharuskan membuat pekerjaan yang bagi pendidik sendiri tugas seperti itu tidak mungkin baginya terselesaikan, dan ini di bebankan ke anak didik dalam tempo sesingkat-sinhkatnya. Anak didik yang sudah hanya akan mempertimbangkan prestigious statusnya ketimbang ilmu yang dia dapat, menggunakan segala cara agar proyek itu terselesaikan dan dapat berbalas kesombongkan terhadap pengajar. Apakah ini yang dinamakan kewarasan?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H