Saya cukup kaget membaca berita di Kumparan, program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah memakan anggaran APBN 71 triliun. Itu pun belum mencakupi program MBG hingga seluruh Indonesia. Artinya, butuh berapa triliun lagi dana yang dibutuhkan dana untuk mencukupi agar merata ke seluruh wilayah.Â
Wajar kemudian banyak tokoh yang bicara dan resah sehingga mengoreksi kebijakan presiden anyar ini. Tak hanya tokoh, orang biasa pun banyak bicara, misalnya saya. Heranlah kita, kalau sedari awal kebijakan yang kick off di awal tahun ini sudah bikin repot, kenapa dipaksakan apalagi jelas membebani anggaran yang begitu besar. Ini baru satu kasus, di media kita menemukan sekian banyak kasus di antaranya berita di atas itu.
Coba, mau menombok di mana dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak terlalu menggembirakan pula. Sudah barang pasti akan menghadapi proses juga jalan yang penuh duri juga caci dari sebagian warga yang antipati. Belum lagi di media x banyak yang terang-terangan menunjukkan menu MBG tak hanya kurang gizi tapi kurang menarik hati.Â
Jatah yang satu porsi  tadinya limabelas ribu disunat menjadi sepuluh ribu. Hasilnya apa, seperti yang kita lihat dan baca, cukup menggemaskan. Ketum PBNU sampai memberi solusi ke pemerintah untuk menambal MBG dengan menggunakan uang zakat, infaq dan sejenisnya itu.
Hadeh, tambah bingung kita. Dana ummat kok  mau digunakan begitu. Memang seberapa darurat sih MBG ini? Ya, kita tahu stunting masih cukup jadi momok menakutkan. Diharapkan dengan MBG bisa memperbaiki anak bangsa cukup gizinya. Kita patut hargai dan hormati i'tikad pemerintah itu.Â
Hemat saya, kalau memang banyak anak negeri yang masih kurang gizi meski pun sudah ada kebijakan dengan seabgreg bantuan sembako gratis, stunting, ibu hamil, lansia dan lain-lain. Kenyataannya masih belum memperbaiki nasib hidup mereka yang berada di garis dan di bawah garis kemiskinan akut. Ya, kenapa kebijakan ini dipukul mundur ke seluruh kelas sosial?
Kalau benar mau melanjutkan terus program MBG ini, coba saja lihat peta persebaran angka anak kurang gizi di Indonesia yang sangat tinggi di mana? Misalnya, nasib saudara kita di Timur Indonesia masih kurang beruntung. Bangunan sekolah mereka masih ala kadar. Jangan bicara kualitas guru, sarana pembelajaran yang mendukung apalagi koleksi buku asyik. Sudah ada yang mau ikhlas memperjuangkan mereka saja itu sebuah kenikmatan besar.
Maksudnya saya, kenapa program MBG ini difokuskan di daerah yang sangat diperhatikan. Saya tahu benar karena teman-teman pegiat literasi di Banten pernah cerita begitu. Mereka ikut langsung ke sana, melihat dan terjun langsung. Menginjak tanahnya dan mencium udara alami pun bercanda ringan dengan anak-anak hebat yang polos.
Saya sungguh merinding dan ingin menangis mendengarnya, tapi siapa saya, sungguh saya takjub dengan semangat belajar mereka pun keramahan orangtua di sana, dengan kesulitan nyata tak mau menyerah pada takdir. Ya, kalau Pak Prabowo di depan saya, ingin saya bilang begini, "Pak, fokus ke mereka di sana!"
Akhirnya kebijakan ini tidak harus diterapkan ke seluruh Indonesia dulu, tapi difokuskan ke titik-titik kawasan yang darurat pangan dan pengetahuan. Contohnya, terapkan di NTT dan sebagian wilayah Papua. Kita lihat bagaimana efek nyata di sana, apa efektif? Dua wilayah itu menjadi "proyek nasional", apakah selanjutnya kebijakan ini memang cocok atau tidak diterapkan secara menyeluruh.