Saya punya teman, bukan dekat juga sih, sekedar kenal. Takutnya mengaku dekat eh dia bilang, teman di mana ya, kan saya gak enak hati. Bagaimana pun saya ingin hati saya enak, enak dalam menerima kenyataan hidup yang tak selamanya enak, terkadang pahit.
Saya kenal di komunitas literasi, kebetulan kami punya hobi yang mirip, dia pun suka menulis. Bedanya, saya menulis karena mengisi waktu yang banyak kosong. Kalau dia menulis karena tuntunan pekerjaan. Sekali pun sibuk tetap menulis.
Pas aku ketemu, dulu, biasa saja. Katanya sih lagi magang di prima hukum di Pandeglang. Menyebutkan satu nama di wilayah, saya tahu pastinya Cuma gak tahu jelasnya di mana kantornya. Lagian untuk apa pula saya tahu, ya.
Tahu-tahu sekarang dia jadi konsultan hukum, berani dan juga aktif di media. Sering berkomentar terkait kasus hukum yang terjadi, terkadang menulis di media online terkait keresahannya. Di hafal pasal-pasal pun dalil hukum. Wajar sih, kan sarjana hukum. Salut lah, saya.
Pernah memang kami diksusi terkait kasus pelarangan pembangunan gereja di Cilegon. Tepatnya di Serang. Dia bertanya atau mungkin saya yang bertanya, intinya kami berdebat cukup sengit. Dia berargumen sebagaimana kesepakatan peraturan tiga Menteri, di sebutkan pasalnya bla-bla bahwa itu jelas pelanggaran hukum.
Lebih lanjut katanya kalau dari sisi HAM, bahwa tiap agama dilindungi oleh negara. Selama pembangunan itu mengikuti aturan hukum maka sudah sewajarnya diberi akses sama. Namun kita pun tak menutup mata, peristiwa itu juga karena pemerintah tidak tegas menerapkan aturannya.
Apalagi saat perpu berlawanan dengan keputusan tiga Menteri jadinya simalakama. Kalau ada warga tidak setuju maka tidak salah, cuma di sini negara harus memberi fasilitas. Cuma sampai kini aturan itu terus ambibgu.
Saya menimpali kasus di Cilegon harus dilihat tidak hanya dari aturan formil. Sebab bisa saja penolakan itu dikarenakan sebab lain, iya sebab apa, katanya agak menohok.
Saya beberkan fakta yang kerapkali terjadi kenapa sebagian warga muslim antipati dengan pembangunan rumah ibadah saudara kita itu. Bukan hanya karena perijinan tapi juga ketidakpekaan. Misalnya pula apakah pembangunan itu sudah mencukupi syarat, jangan sampai izin dari warga setempat karena "ketidaksadaran" mereka. Karena warga menolak pasti punya alasan pun sandaran, nah ini yang perlu diobrolkan dengan matang.
Atau terkadang komunikasi yang buntu karena pemerintah tidak serius membenahi kecurigaan warga. Warga tadinya terpecah antara setuju dan tidak setuju namun karena penengah ini tidak aktif melakukan pendekatan emosional ke dua belah pihak maka suara resah ditangkap oleh kalangan tertentu yang sedari awal menolak.