Lagi dan lagi pertengkaran terjadi. Sebenarnya aku malas menanggapinya. Lagi capek begini inginnya istirahat. Di sambut cinta anak-anaknyapun kecupan hangat isterinya. Tapi entah kenapa ia selalu salah di mata perempuan untuk sras
Di matamu laki-laki memang terlihat kuat. Ia  begitu tangguh. Ia bisa sekuat karang, meski berkali-kali kau caci maki ia terlihat manis, tersenyum dengan kesegaran jiwanya.
"Tiap hari aku di rumah," katamu, "aku bosan dengan aktivitas harianku. Sibuk mengurus anak, sibuk membersihkan rumah, dan jengkel kau tak pernah tahu inginmu.
"Ya sayang, aku tahu."
"Kalau kamu tahu, kenapa diam saja!"
"Aku belum punya cukup dana untuk punya PRT. Aku belum punya ongkos memberikan kamu waktu keliling kota. Apa yang kumampu hanya berusaha mencukupi kebutuhan kita."
"Halah, omong kosong. Tiap tahun kau katakan itu sampai saiki semua hanya retorika belaka. Tiap hari aku tetap merasa menjadi wanita malang dengan segudang tangung jawab. Aku... seperti budak di harimu. Aku seperti tawanan yang tak sebahagia mereka teman-temanku kini."
"Jangan bicara begitu, sayang?" ujar lelaki itu penuh kepedihan.
"Terus kenapa, takut dosa, ya?" jawabnya ketus," makan tuh dosa!"
Entah bagaimana lagi ia mengingatkan ibu dari anak-anaknya itu. Berulang ia di ngomel begitu seolah selama ini ia tidak kerja keras. Padahal ia termasuk pekerja yang paling rajin, datang paling awal dan pulang agak akhir. Ia ridha denga itu karena memang mencari nafkah adalah kewajibannya sebagai suami.
Benar ia belum memberi apa yang isterinya mau. Ia tak sama dengan Ridwan yang mampu memnajakan isterinya dengan baik. Di hari ulang tahun isterinya membelikan mobil baru. Dibanding isterinya, tentu jauh benar dengan keadaan isterinya.