Kemarin saya dapat novel Dilan seri ketiga: Ancika dia yang bersamaku di tahun 1995. Tepatnya pinjam rekan di IBP kemarin, minggu 15 desember 2024 sekitar pukul sepuluh pagi di alun-alun Pandeglang. Buku yang unik sekaligus menarik.
Saya tertarik semenjak melihat sampulnya dan tahu siapa penulisnya, Pidi Baiq. Sebenarnya saya agak heran kenapa beliau mentasbihkan nama Pidi Baiq, apa itu murni namanya atau nama pena agar jadi doa bahwa beliau tetap baik. Kalau benar begitu kamuflase dong? Tentu ini masih teka-teki di kepala saya, apa dasar beliau memberi nama itu. Tentu saja saya menyimpannya di benak saja, tidak sampai saya curahkan pada orangnya takutnya orangnya emosi nanti saya ditelan macam bakso lagi. Heuh, serem!
Kembali kenapa saya tertarik pada karya Bang Pidi, tak lain tak bukan karena gaya bahasa yang dituturkan itu mengalir begitu. Agak keluar dari pakem. Agak konyol tapi lucu sering buat saya ketawa sendiri. Ponakan saya saja sampai heran, baca buku kok ketawa, dia sampai bolak-balik itu ada apa di dalamnya. Saya tersenyum saja, dikira trik sulap apa. Haha.
Jadi begitu teman, kalau lagi asyik medaras buku Bang Pidi tuh, itu saya ya gak tahu kamu. Biasanya sih saya membaca bukunya kalau lagi galau atau boring gitu, kayaknya otak terasa fresh lagi gitu. Bisa saja kalau lagi jenuh membaca buku yang super tebal plus bahasanya mendalam, untuk kembali bertenaga membaca novel--- dan novel Dilan di antara daftar antre tersebut.
Kalau lagi iseng rayuan Dilan sering saya praktekan pada perempuan manis itu, asli merona itu wajahnya. Baper seriusan dan saya pun jadi ikutan lebay. Hehe. Seperti kemarin, saya kawan yang lain membaca buku-buku berat, lah saya malah nyomot novel Dilan seri ke empatnya. Alam bawah sadar langsung memberi perintah, "garap bos, mumpung ada di depan mata!" Langsung saya gercap itu novel.
Padahal di rumah saya sedang proses mengkhatamkan novel Suluh Rindu-nya Kang Abik yang banyak digadrungi kalangan aktivis dakwah itu. Begitu melihat novel itu saya langsung membuat keputusan ekstra, "ambil saja dan nikmati saja. Urusan selesai gimana nanti."
Pada jadinya keduanya tak lama lagi saya rampungkan baca. Tentu saja Suluh Rindu saya selesaikan karena lebih awal saya pinang maka setelahnya tinggal menunggu jam Ancika saya babat habis pula. Lumayan juga, satu pekan ini bisa membaca dua novel sampai tuntas. Walau pun kalau ditanya, apa yang kamu dapatkan dari buku itu, aku hanya diam sambil tersenyum sok manis.
Kalau ditantang untuk membuat resensi pasca membaca bukunya, saya pun hanya menjawab nanti. Kenapa begitu? Karena bagi saya, membaca ya proses membaca. Urusan paham atau tidaknya, karena tidak semua orang suka membaca otaknya encer, ada yang kental dan padat gitu yang di mana mereka memahami membaca ya proses iseng saja. Saya mungkin di antaranya.
Baik kita kembali ke topik, kenapa saya membaca Ancika-- kekasih Dilan setelah move on dari Milea. Jujur saja agak penasaran bagaimana proses Dilan bangun pasca putus hubungan sama Lia. Kalau Lia kan memang bombay, lah Dilan bagaimana, ini di antara sekian tanya di batok kepala saya. Cuma lagi tidak saya tanyakan pada penulisnya, karena saya kenal Bang Pidi dan beliau pasti yang heran ke saya, "siapa ya kamu," maka saat itu muka saya macam kepiting rebus.
Di IBP kemarin pun saya tak kebagian jatah mem-presentasi kan. Selain karena waktu berputar cepat, buku teman yang lain pun cukup menarik kami diskusikan. Jadi minat kami fokus ke situ sedangkan jatah yang belum, jadilah menguap.
Terlepas dari itu, tak masalah. Seperti sekarang, tak masalah kamu menebak ke mana arahnya tulisan ini. Biar itu tugas kamu dan kalangan filosof saja, urusan saya sudah kelar, menulis Ancika judul seri ke empat Dilan oleh Pidi Baiq. Â (***)Â
Pandeglang, 16 Desember 2024Â 22.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H