Pertemuan IBP (Indonesia Book Party) kemarin, sangat berkesan. Karena saya merasa bertemu dengan orang-orang yang punya keresahan yang sama tentang literasi juga dengan tema-tema lain. Gerakan literasi gak boleh mundur. Walau sederhana yang penting barakah.
Untuk lebih jelasnya, mari saya jelaskan sedikit poin obrolan kami. Acara agak sedikit molor karena kawan-kawan lain pada lambat hadir. Tak hanya yang lain, wong saya pun sama lelet hadir sebab harus pula deal-deal solution dulu di rumah. Jadi, ya begitulah. Berjalan lancar kok sepanjang perjalanan menuju Indonesia emas nanti.Â
Singkat kata, karena Kang Miftah tak jua nongol sedang mentari mulai bergerak mengganti jam, saya beriniastif membuka saja acara kemarin pagi tadi sambil menunggu kawan-kawan lainnya. Itu pun sebelumnya izin ke Teh Gegeb sama Kang Kiki yang duluan hadir-- pas saya datang sudah duluan menggelar buku dan berbincang hangat. Yaps, berdua ditemani ragam judul buku.
Di mulailah proses itu, kami membaca bebeapa halaman di menit yang kami tentukan lantas tiap orang menceritakan apa yang ia baca. Kang Miftah hadir saat kamu khusyu mengeja tiap kalimat di buku. Seperti biasa senyum juga sapaan hangatnya menambah keteduhan pagi kami.Â
Yang hadir tadi selain saya, ada Kang Miftah, Teh Gegeb, Kang Kiki, Yofi, satu lagi lupa saya namanya. Padahal ia duduk di samping saya, lupa saya namanya. Hihi. Wajar ya, IBP ini kadang tiap minggu agak dinamins, datang wajah baru besoknya ganti ganti baru lagi. Dengan nalar pas-pasan saya, jadi maklum saya tahu wajahnya tapi lupa namanya.
Teh Gegeb (begitu pengen di panggil) membaca buku tentang pengembangan diri. Buku yang yang ditulis seorang psiakter dengan judul yang unik (sayangnya lupa saya). Kurang lebih ia ceritakan kehilangan seseorang yang kita sayangi itu tidak mudah. Apalagi orang dekat itu kedua orang tua kita, dua insan yang penuh cinta wasilah kita ada di bumi ini.
Orang lain mungkin bakal bilang, yang sabar ya, yang kuat. Tapi kalimat simpati dan empati itu tak ada guna tanpa kita sendiri mau mengendalikan diri kita. Misalnya beliau bercerita tentang kehilangan orang tua, sentral kasih di rumahnya. Betapa tidak mudahnya. Harus bangkit di antara luka yang menganga.
Hal ini ditanggapi cukup dramatis pula oleh Kang Kiki, bahwa ia pun mengalami bagaimana kehilangan sosok bapaknya justeru di saat ia tidak menydari bahwa orang terkasihnya pulang. Ya, ia terpuruk untuk waktu yang tak sebentar. Ketakutannya bagaimana nanti ibu pun pergi juga, entah seperti apa jiwanya, ia belum siap. Ujarnya agak bombay.
Saya pun Kang Miftah menceritakan kehilangan sosok bapak, pergi memang kata yang tak mudah. Sayangi dan cintai orangtua selagi ada, sebelum pergi dan kita nanti menyesali. Percuma, semua sudah terjadi. Ujarnya sedikit emosional.
Jadi gara-gara Teh Gegeb, kami agak baper gitu karena yang dibahas soal kehilangan. Kawan saya yang sebelah misalnya merasakan bagaimana di usianya menginjak 2 tahun bapaknya wafat. Ia ceritakan bagaimana soal perasaan itu.
Selanjutnya buku David dan Goliath-nya Maxcom dipaparkan cukup apik oleh Kang Kiki. Bagaimana perjuangn David kecil melawan panglima bertubuh raksasa itu hanya modal keberanian lewat ketapel yang diarahlkan tepat ke mata Goliat, dia ia pun mati!