Tadi malam saya membaca tulisan Teh Ririe Aiko di Kompasiana. Judulnya Aku Menikah Bukan Untuk kesepian. Tulisan itu-- entah curhatan asli penulisnya atau mungkin hanya analisa yang ia tangkap dari potret perempuan sebagai isteri di sekitarnya. Jujur saya tersentuh, terasa hidup dan nyata.
Ia bercerita,
isteri kerapkali merasa sepi dengan harinya. Ia sering dianggap orang yang tidak punya kesibukan padahal dari semenjak subuh buta sampai malam ia yang paling gesit. Dari mulai membangunkan suami, anak, memasak dan lainnya.
Belum lagi kalau punya bayi, betapa kesibukan itu makin menjadi. Siang jadi malam dan malam jadi siang. Belum mengurus soal token yang teriak di waktu yang tak tentu. Anak merengek. Susu habis. Mertua bilang ini bilang itu.
Belum baby blues. Betapa sakit sekujur tubuh. Belum suami minta jatah yang kadang setengah memaksa. Inginnya kalau ditolak bikin rumah terasa menjengkelkan.
Di saat itu, tangisan rasanya jadi pelampiasaan termudah. Hanya dengan menangis semua beban, luka, kesal dan lelah menyatu jadi butir-butir air yang membasahi wajah.
Duh, betapa tidak mudah menjadi seorang ibu. Menjadi seorang yang harus tetap kuat, peka, terjaga dan punya segudang kesabaran. Menjadi orang yang penuh cinta dan kasih, padahal di dasar hatinya ia pun ingin luapan kasih.
Ia ingin dibelai penuh cinta. Dipeluk penuh rasa. Dikecup penuh kelembutan. Ia ingin didengarkan keluh hatinya, dari pagi sampai sore apa saja yang dilakukan. Ia ingin pula jatah batin dengan penuh mesra, cinta dan kesadaran bukan sekedar aktvitas formal yang  menambah kesal, karena ia lagi-lagi hanya jadi objek kepuasaan suaminya bukan subjek yang sama-sama ingin saling memusakan.
***
Tetapi hal yang luput bagi perempuan, kenapa lebih suka hanyut di pikirannya sendiri seolah suaminya tahu semua inginnya. Tahu rasanya. Tahu jenuhnya. Ia menyimpulkan paasangannya pasti peka, tetapi lupa peka juga ada batasnya.