Aku tak tahu, apa yang akan aku katakan lewat surat ini. Surat untuk kekasihku yang entah seperti apa aslinya itu. Sebuah potret menyatu di jiwaku, tapi belum juga menyatu di kenyataanku.
Mungkin kamu bertanya, 'kenapa bisa jatuh dan cinta pada jiwa yang tak penah kau indra,' maka aku akan menjawab, 'jika cinta itu seperangkat aturan maka akan aku katakan padamu, ia pembelok sejati'.
Namun, baiklah. Aku katakan sejujurnya saja, biar jelas adanya.
Kami dgua manusia yang normal. Dua rasa menyatu dalam satu kata. Dua ingin dalam ingin sama. Dan begitu seterusnya. Suatu waktu, aku pergi ke Balai Budaya dekat alun-alun. Pusat kota kami, Pandeglang.
Di sana, saat aku asyik melihat pentas seni lokal---rutin di adakan sepekan sekali--ada laki-laki yang tiba-tiba menabakku. Aku kaget, kalau saja cepat menjaga keseimbangan mungkin mencium lantas di depanku. Mungkin, aku bakal jadi tontonan semua.
 "Hati-hati bos," orang di depanku nampak sebal ke laki-laki itu.
"Jalan hati-hati dong, loe kira di mana ini," laki-laki di sampingnya, mungkin teman atau kekasihnya.
"Maaf ya, kak, atas keceroboham saya keyamanan saya terganggu."
Dua orang tadi pergi tanpa berkata. Mereka pergi dengan segenggam kesal pada laki-laki di depannya.
"Kamu baik-baik saja," kataknya padaku.