Dua hari ini saya agak malas menulis. Mood saya kurang bersemangat. Memang masih sempat menulis, tapi saya menulis yang receh dan penuh kegalauan gitu, jadi gak usah mikir dan nyari data sanal-sini.
Namanya lagi males ya, boroning nulis mikir oge males,  ya sudah, di titik jenuh itu saya membaca tulisan-tulisan Kang Encep tersebar di media, kemudian beliau  bukukan. Saya merasa tercerahkan.
Setelah membaca tulisan beliau, dada saya seperti bergemuruh begitu. Kehendak yang tadinya malasa membuat saya terinspirasi, menulis seperti olah kanuragan. Seseorang dikatakan ahli karena terbiasa, bukan hanya hasil berkhayal saja.
Dari semua itu saya memahami bahwa penulis juga perlu makan (baca: bahan) untuk ia menuliskannya. Apa saja ity, bisa melalui membaca, mendengarkan atau jsuteru bergaul dengan banyak orang. Insiprasi bisa muncul dari apa dan di mana saja.
 Tugas kita sebagai penulis bukan justeru menunggunya tapi menjemputnya. Ada pun pola dan bentuknya tergantung bagaimana kita mengolahnya. Tak jauh macam kita memasak, saat kita mau mengolah daging ayam kan tak semuya orang suka opor, mungkin yang lain kepengen di panggang. Pun yang lain pengen di balada.
Begitu juga upaya menulis dala mengolah ide. Tak harus sama dengan yang lain meskipun temanya menulis, tak usah juga takut. Tulis saja apa yang ingin kamu tuliskan jangan dulu dihakimi.
Singkatnya, penulis butuh peluru untuk menulis. Di antaranya membaca, Wajib hukumnya bagi penulis terbiasa membaca. Sederhananya begini, kamu ingin tulisanmu di baca, masa iya kamu tak mau membaca karya yang lain. Tabik! (**)
Pandeglang, 14 November 2024Â 17.54
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H