Hujan deras disertai kilat yang cukup menciutkan nyali, tak membuat saya urung untuk hadir. Saya sudah berajam kalau sore ini mau hadir, jadi apa pun yang terjadi, harus, selama mampu!
Sepanjang perjalanan tadi, tempias hujan terasa memeluk dengan dingin. Orang banyak yang berteduh di pinggir jalan, saya dengan adik saya menantang dengan jas hujan yang sudah bolong sana-sini. Betapa Pandeglang basah, air sampai meluap ke jalan-jalan.
Setelah sampai ke alun-alun, di mana kami biasa berdiskusi, langitnya begitu sendu. Hanya mendung dan sebagaian remaja tengah joging, sisanya bermain bersama teman-teman. Ada anak-anak tengah berlatih apa, saya tidak tertarik memperhatikan. Saya menunggu yang lain, sambil memperhatikan taman kecil di depan saya.
Sekian lama saya menunggu, tak ada yang lain datang. Kang Miftah tengah ada acara di Jakarta, kemungkinan urung hadir. Kang Nurshi yang biasanya paling ceriwis, baru mengabari satu jam kemudian, ketiduran. Cuaca dingin paling enak memang rebahan. Bisa disimpulkan, saya memeluk angin sore, sendiri.
"Gimana kang acara book party," Kang Miftah bertanya sekitar pukul 18.50 via WA.
"Saya diksusi dengan keheningan," jawab saya singkat dengan emot senyum dipaksakan.
"Hese, nya istiqomah," katanya dengan emot sendu, "Mas Gong (maksudnya Mas Gol A Gong) pasti pernah di posisi kita ini," lanjutnya.
Saya paham kekecewaan Kang Miftah, ia paham menggerakan minat orang pada literasi seperti kita memegang angin. Ia terasa tapi tak terlihat. Apalagi dengan cuaca yang memang mendukung alibi itu.Â
 Melek literasi adalah gerakan kesadaran, yang pasti segudang alasan pasti saja kita temui. Apalagi gerakan ini minus dana, misalnya tak ada konsumsi pun sembako gratis. Mungkin lain ceritanya kalau acara kami selain diskusi soal buku juga bagi-bagi sepeda atau lempar baju macam Pak Jokowi, lain ceritanya. Sayangnya, siapalah kami.
Kenyataan sore ini hujan, tak ada yang datang satu orang pun maka saya berdiskusi dengan kesunyian. Saya berbicara hangat dengan renungan. Buku pun saya jamahi dari lembar ke lembar. Sampai perlu bergeser ke Masjid Agung di temani teh manis panas yang saya beli.
Ke Masjid ternyata membuat hati saya gerimis, karena saya melihat bapak setengah baya berjualan bakso Chuangki di siram gerimis, namun belum ada yang membeli. Tak hanya bapak itu, pemilik lapak-lapak lain pun sama, bersabar di tengah dingin sore tadi. Di alun-alun tadi, penjual makanan ringan dan minuman sampai harus buat saung-saungan agar hujan tak merampas dagangannya. Begitu miris dan tersentuh jiwa saya.
Hanya itu yang bisa saya lakukan. Saya bukan Baim Wong yang sering ngonten soal begitu, bukan pula Wika Salim yang bagi-bagi uang. Jadi yang bisa dilakukan hanya doa. Doa sepenuh hati untuk para pejuang rupiah tak kenal lelah, cuaca, dan keadaan. Â Meskipun tak jauh dari itu, baliho Ibu bupati dan wakilnya tersenyum manis. Kepala keuangan pun ikut, betapa kami rakyatnya diajari untuk meneladani para pahalawan bangsa. Senyum manis, tak semanis nasib bapak tukang bakso pikul tersebut.
Potret yang indah sekali. Jadi ingat, sebelum berangkat ke alun-alun Emak menatap saya acuh. Kekasih saya justeru ngomel karena saya hujan-hujanan ke tempat acara. Tadi pagi direspon dingin salah satu sastrawan muda Banten. Sore ini, menatap kesunyian di alun-alun. Lengkap sudah gerimis hati saya.