Mencintaimu sebenarnya sebuah seni, untuk aku belajar dan memahami diriku. Sebab, orang yang tak tahu diri tak akan memahami diri orang lain. Ia sibuk mencari kesalahan dari pasangannya, padahal pasangannya mati-matian meyakinkan dirnya dan memperjuangkan dirinya. Ia tetap tak sadar, terus menyalahkannya. Ia ingin kesempurnaan tapi lupa berkaca seperti apa dirinya.
Mencintaimu membuatku kuat meski ujian di depan datang silih berganti. Di saat kita terjaga, ingin bercengkrama mesra bersama purnama dalam sunyi, ada lagi yang merontokkan bersama itu. Aku merasa tak berdaya, dan aku merasa tertatih. Kamu ada di sana, menguatkanku. Mengepal tanganku, membangunkanku lantas berbisik,
"Jangan paksa aku memadamkan mentari pagi di hatiku. Sekali-kali jangan. Aku mungkin rapuh di mata mereka, tak apa. Asal kamu tahu, lebih baik aku berselimut gelap dari pada sinar yang penuh pura-pura."
Mencintaimu, menyadarkan aku dan kamu, kita dua insan yang tidak tahu takdir dan goresan masa. Kita mungkin ingin, maka kita jalani. Kita tak berandai-andai soal esok, kita bukan pemegang skenario. Kita hanya percaya, apa yang kita perjuangkan untuk, demi, dan hanya syukur atas nikmat Allah di dasar hati.
Semoga Allah memudahkan jalan itu seperti dan bagaimana caranya. Terasa berat, semoga penuh barokat. (***)
Pandeglang, 6 Oktober 2024 Â 22.11
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H