"Kamu lihat barang daganganku berkurang, kamu dari tadi diam saja, terus ada laki-laki di sana yang sedang membaca buku punya aku. Gak bayar, apa itu bukti dia mencuri kehormatan ku. Di kira aku, gak berani," ujarku berapi-api.
Sebagian orang yang kebetulan lewat dekatku menghentikan langkah. Maria tampak kesal sekaligus gemas. Kalau aku pentul bakso mungkin sudah habis di lahap olehnya. Syukur aku bukan bakso, aku manusia juga. Kebetulan nasibnya jadi penjual buku.
"Harusnya kamu nanya dulu ke aku Sur," Maria berbicara dengan penuh kegemesan dicampur greget. Giginya gemetar seperti Vampir yang ketemu mangsanya. Aku jadi ikutan heran sama tingkahnya.
"Emang kenapa?"
"Itu laki-laki itu membeli buku kamu sayang, dia bukan mencuri seperti yang kamu bayangkan. Ini uangnya sama aku, harusnya tanya ke aku loh cantik," aku jadi geli dengan sikapnya.
Tapi omomganya ada benarnya juga sih. Seterusnya kok aku merasa malu ya, entah kenapa. Maria mungkin benar aku yang ceroboh, coba saja kalau sampai terjadi aku damprat, bisa-bisa heboh kota kami. Aku berterima kasih ke Maria karena sudah menjual barang daganganku, meski pun masih heran juga, kok dia gregetan ke aku.
Mulai saat itu Amat rajin dolan ke aku, eh ke terminal ini untuk melaksanakan niatnya mengajari kami agar melek literasi. Membeli buku itu startegi awal ia membaca medan, apa memungkinkan melakukan gerakan sosial itu. Aku pikir waktu itu literasi itu sejenis makanan apa gitu, eh ternyata lain ya. Di sini baru terasa pentingnya ilmu. Pentingnya belajar selagi muda, selagi tua juga punya minat juga sehingga bisa menikmati hidup.
Kata Amat, kemajuan zaman seharusnya membuat kita lebih kreatif lagi. Kita harus jadi bagian yang mewarnai bukan jadi bahan permainan. Atau seumpama kerbau yang dicocok hidung. Latah dengan fenomena sosial yang menggerus mental dan moral kita. Sesekali aku sharing sih sama lelaki kurus itu, wawasannya lumayan. Walau banyak yang gak aku pahami, aku sih cuma senyum sok manis sama manggut-manggut sok paham. Aslinya, mana paham.
Karena teman-teman sudah pada kumpul, beberapa saat lagi acara mau di mulai. Aku akhiri saja cerita ini.
Ini pertemuan ke sepuluh, ya minggu depan katanya akan menghadirkan Mas Gol A Gong, sastrawan besar itu. Itu gurunya sewaktu ia menimba ilmu di komunitas Rumah Dunia itu loh. Kamu tahu, aku sih belum, nantilah aku cari di internet. Katanya sih gitu, cuma yang aku heran apa itu nama aslinya benar Gol A Gong, kok unik gitu.
"Surti," Nurjen memotong lamunanku, "Bang Amat manggil kamu tuh. Katanya ada sesuatu yang bakal ia omongkan," pungksanya.