Tuhan memang Maha Baik, mempertemukan kita di mahligai para pecinta. Di istana penuh warna, di bangun dengan kepercayaan. Tak pelak lagi, sejauh kita kita punya kisah di antara kisah-kisah seperti lain. Meski pun kisah kita hanya kita yang tahu dan puas dengan rasa tahu itu.
Ngomongin kisah cinta memang penuh warna. Kita yang mengingatnya seperti tersedot ke alam yang penuh senyuman. Kita ingat di mana saat kita bertemu, menyapa dan kesan pertama bagaimana hati bergetar berirama. Kita ingat itu dan selalu ingat itu. Tak kenal usia, sepertinya itu hal istimewa teringat di benak kita.
Kalau istilah Tere Liye, hakikat mencintai itu sebenarnya itu sensasinya. Bagaimana kita merasa senang, bahagia dan penuh harapan. Saat kita baru mencinta, kita gak akan peduli harga beras naik. Kita gak akan merepotkan harga BBM melangit. Kita gak akan sibuk memikirkan siapa presiden negeri kita. Di pikiran sederhana kita, bagaimana caranya aku bahagia bersama dia. Seperti apa pun resiko dan prosesnya. Asal sama dia, aku tetap bahagia.
Di posisi ini rawan sekali konflik perasaan. Karena perasaan kita entah kenapa hanya pada dia; perhatian ke orangtua, teman dan sekeluarga untuk sementara teralihkan fokusnya. Bukan tidak sadar, kita justeru sangat sadar. Sadar untuk berpijak pada satu hati sedangkan hati terbagi pada kepentingan lainnya yang dulu menyapa. Itulah Emak, bapak, teman, guru dan lainnya. Kita ambil satu sikap, dia.
Kenapa orang bilang cinta buta, sekarang aku memahami itu bentuk sikap kita yang kadang kurang dipahami oleh orang sekitar. Misalnya, kenapa kamu seharian rela memberikan waktu untuk dia, sedangkan sebelumnya kamu orang yang malas untuk mendengarkan curhat orang. Kenapa kamu mudah takluk dinasehati dia sedangkan sebelumnya kamu orang yang paling bengal dinasehati ibumu. Ada ribuan sikap lain yang kadang bikin melongo, kok bisa-bisanya begitu.
Hal itu akan membuat kita tersenyum dan geli bukan sekarang, tapi nanti saat kita sudah di fase puas dengan kisah awal cinta kita. Misalnya, mereka yang sudah menjalani bahtera rumah tangga sepuluh tahun lebih akan merasa geli melihat tingkah polah remaja urakan yang baru tahu dan cinta. Betapa uarakan, perasaan cinta diungkap dengan kepolosan.
Mereka merasa, ternyata cinta saja gak cukup setelah lama menjalani kebersamaan. Meski pun mereka sadar pernah pada fase absurd begitu. Sebagian pihak mungkin menertawakan atau mungkin melarang karena tak pula harus sebodoh itu. Masalahnya, sikap bodoh akan pasti dirasakan tiap orang yang merasakan sesansi cinta. Sadar atau tidak pasti, hanya saja kita berbeda definisi menyebutnya. Â
Singkatnya, dengan ragam kisah cinta kita itu maka peradaban selalu punya drama dan momen spasial. Dengan ragama itu, tak perlu rasanya menyamakan persepsi kisah cinta seperti orang. Mungkin kita suka dengan kisah romantis cinta Romeo-Juliet, taapi rasa suka itu "memaksakan" seperti itu. Mungkin kita tersentuh dengan kisah cinta Qais - Laila sampai kedua majnun, tapi percayalah kita punya kisah gila yang melulu harus sama. Biarkan kisah itu mengalir seperti apa yang kita mau bukan harapkan dari kisah orang lain.
Sebabnya sederhana, aktor utama di kisah kita adalah kamu dan aku. Dua kelamin yang menyatu oleh kenyamanan. Biarkan kenyamanan tumbuh sampai di mana kita yakin, ia untuk aku dan aku untuk ia. Selanjutnya membangun pondasi dan memperkuatnya dengan kesepakatan.
Bangga dulu dengan kisah cinta kita, seperti apa pun bentuknya. Dengan begitu akan terasa nanti natijah lain di belakangnya. Semoga dengan bangga kita mau menjaga, melestarikan dan menyiraminya dengan sapaan penuh cinta, panggilan mesra dan terbuka tentang apa yang perlu dibuka.
Seperti pepatah yang terlanjur viral, rumput tetangga selalu menarik untuk di tengok, kadang bikin gemas untuk digarap. Padahal sejatinya, bukan rumput itu yang menarik tapi senasi cinta kita pada dia kekasih kita yang tak raji disirami. Kita lebih suka melotot pada milik orang, tapi milik kita lupa untuk dipelototi. Giliran ada yang usil milik kita dipelototi kita uring-uringan. Lucu jadinya, ya. Wallahu'alam. (***)