Di salah satu kesempatan, Vidi Aldiano bercerita bahwa ia pernah mempertanyakan juga meragukan eksistensi Tuhan. Ia ibadah tapi bukan karena berangkat dari hati. Ibadahnya karena terpaksa.Â
Lebih tepatnya takut terkena omelan ibunya, bukan takut pada Allah siapa pencipta-Nya. Aldiano sendiri kependekan dari Alhamdulillah dia nongol, yang ibunya ucapkan ketika ia lahir karena waktu itu ibunya mengidap penyakit. Kalimat itu bentuk syukur ibunya.
Keraguan demi keraguan ini membuatnya ambigu dalam beragama. Ia antara yakin adanya Allah dan tidaknya, masa itu ia tidak sama sekali beribadah pada Allah. Baginya waktu itu, apa artinya ibadah kalau hati tidak di sana. Kalau jiwa tak diberangkatkan.
Uniknya di masa itu, ia membaca buku-buku lintas agama. Ia bergaul dengan banyak kalangan. Ia akui nyaman dengan ajaran budha tentang ajaran bersemedi demi mengososngkan jiwa. Entah kenapa ia merasa nyaman. Puncaknya, ketika namanya melambung di dunia musik nasional. Satu sisi ia bahagia terkenal, di satu jiwa yang lain ia merasa kosong.
Proses kembali ia menemukan kesadaran dalam beragama justeru ketika datang penyakit. Penyakit yang sempat meruntuhkan mimpi dan langkahnya. Sempat pula memangkas semangatnya. Ia seperti berada di labirin gelap, sendiri dan penuh kesunyiaan. Dunianya runtuh penuh keheningan.
Di saat itu, justeru jiwanya meronta-ronta untuk bersujud pada Ilahi Rabbi. Ia melaksanakan salat dengan penuh kesadaran. Jiwanya tersentuh. Ia menikmati gerak tiap gerak rukun salatnya. Di momen tertentu menangis, entah kenapa ia merasa betapa Maha Besar-Nya Allah. Ia merasa kecil, hina dan tak berharga.
Ia kembali dengan penuh kesadaran. Betapa selama ini amat bodoh mempertanyakan eksistensi Tuhan, di saat yang sama Tuhan begitu baik pada-Nya. Bahkan sekarang ketika penyakit bersarang di tubuhnya, ia dianugerahi keluarga yang cinta padanya, isteri yang baik di hatinya dan teman-teman yang memahami keadaannya.
Kini ia merasa nikmat sekali dalam beribadah. Tiap hembusan nafasnya, ia merasakan kesejukan. Betapa selama ini ada yang salah dengan pandanganya, bukan Allah tidak mencintainya tapi ia saja tidak bisa menangkap cinta-Nya. Betapa selama ini alam semesta menampakkan kasih-Nya dari perputaran waktu, dari sejak muncul mentari sampai tenggelamnya di ufuk barat. Dengan senja yang penuh lukisan.
Datanglah malam, gelap hadir. Datanglah purnama yang elok lagi menawan. Di temani bintang gemintang penuh sinar yang menggugah jiwa. Di saat inilah betapa juta mata terlelap di bawah naungan kasih Tuhan. Sunyi menyeruak, dingin dan kantuk mengantarkan pada alam mimpi.
Di antara jutaan mata yang terlelap, ada sekian juta mata yang terbangun dari keindahan nyenyak malam. Ia terjaga, bertadarru'-- bersimpuh di naungan cinta-Nya. Ya, sepertiga malam memeluk jiwa-jiwa yang pasrah akan takdir-Nya. Mereka merengek meminta luapan kasih-Nya. Munajat kiranya hatinya bersih dari iri, dengki dan ujub yang merongrong jiwa. Berharap merasa cukup dari apa yang diberi-Nya.