Sedangkan saya melihatnya barangkali begiulah kadang hidup, bagi kita bahagia belum tentu bagi orang lain. Cara mengukur bahagia itu sebagaimana kita menikmatinya, bukan versi orang lain. Bagi orang lain mungkin mengoleksi buku lantas larut di dalamnya menggali isinya apa adalah pekerjaan yang membosankan, tidak dengan pecinta buku. Membaca aktivitas yang membuatnya merasa hidup.
Kita tidak boleh menghakimi seseorang karena ia menyenangi sesuatu dan bahagia dengan hal tersebut, selama ia tidak bertentangan dengan hukum dan merugikan diri pun orang lain. Itu hak-nya, karena bisa jadi dengan itu ia bahagia. Kalau pun kita tidak setuju dengan kebahagiannya itu, tugas kita bukan menghakimi tapi memberi persepektif baru untuk nalarnya.
Kang Miftah lain lagi dengan kumpulan cerpennya Laila Chudori, penulis Laut Bercerita itu. Menceritakan kisah gadis kecil yang suka berimajinasi dari apa yang ia baca. Bapaknya memang suka memberi buku yang berbasis pendidikan liberal sedangkan ibunya agak konservatif. Ini yang kemudian menjadi benturan, berefek pada mental gadis kecil itu. Ending-nya, ia bunuh diri.
Cerpen ini memang berisi kritikan sosial, bagaimana pola pendidikan sekelas keluarga saja masih terjadi perebutan kepentingan. Antara ibu-bapaknya belum sejalan terkait akan ke mana karakternya di bentuk.Â
Apalagi dalam lingkup bernegara misalnya, bagaimana kurikulum pendidikan kita tiap periode digoyang kepentingan. Tiap pergantian menteri pasti berganti kurikulum, jadi tak ada kemapanan pada karakteristik anak didik.
Dalam waktu panjang anak kehilangan kesempatan untuk menggali potensi dirinya. Syukur kalau kurikulum itu cocok dengan lingkungan sekolahnya, kalau misalnya tidak, maka kerugian diderita anak didik kita. Padahal apa sebegitu sulit membuat kurikulum permanen, sedangkan di Indonesia sendiri banyak kok pakar dan praktisi pendidikan, apa suara mereka tidak berharga?
Sedangkan aku dan Nursi, membahas pikiran kami yang absur. Oleh karenanya, tidak elok kalau dituangkan di sini. O ya, kemarin saya pulang diantar Kang Miftah karena saya gak bawa motor. Motor saya dipakai adik saya. Adik saya menjemput kakak, saya pun sisanya jalan kaki menjamahi pusat kota Pandeglang.
Demikian catatan ringkas kemarin, saya dan teman-teman. Sedikit manusia di alun-alun yang mengeja masa agar tidak ditertawakan zaman. Karena ketika mati, maka kita tak bernafas. Apa artinya nafas kalau tak ada lagi esensi. (***)
Pandeglang, 20 Oktober 2024 Â 21.30
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H