Pertemuan Pandeglang Book Party (PBP) kemarin, di alun-alun, pertemuan kesekian kami yang lama tertunda. Meski pun hanya beberapa jiwa yang hadir, kami tetap bungah. Gerakan kecil kami setidaknya jadi eksistensi--bahasa keren sejarawan mah, saksi sejarah untuk gerakan literasi di kota kami yang dikenal miskin ini. Hem, sedih sih!
Kami di sana membahas soal menindaklanjuti gagasan saya, gimana kalau nanti tiap minggu acara PBP diadakan door to door ke anggotanya. Jadi niatnya itu jadi ajang silaturahmi antar anggota agar terasa nilai persaudaraan, kedua untuk menarik minat warga setempat. Anggap saja sosialisasi gerakan sadar literasi. Semoga yang melihat bisa tersadarkan. Atau bahasa warga Muhamadiyah itu tercerahkan.
Sederhana sih, terus juga nanti ada rencana ke TBM yang ada di wilayah Pandeglang, berkunjung ke sana. Memang masih sebatas suara empat jiwa yang hadir, selebihnya yang belum bisa hadir seperti apa. Kalau istilah keren Kang Miftah mah, 4 L: loe lagi lo lagi-- yang hadir. Sarkas banget, cuy!
Dipikir-pikir sih sebagaimana yang ia tahu, di mana gerakan sosial itu selalu sepi peminat  dan kecil langkahnya. Jauh misalnya sama gerakan politik yang selalu ambalayah. Begipula gerakan musik modern, rasanya tak pernah sepi peminat.
Bukan kita dengki tapi itu fakta yang tak bisa kita abaikan. Sedangkan asuminya, meniru istilah Prof. Rafly Harun, mungkin karena gerakan literasi agak monoton dan pecintanya kurang atraktif. Atau mungkin kesadaran kita saja rendah, baik dalam hal ini pemerintah dan warganya pada aktifitas literai. Terlebih kalau kurang berdampak pada pintu ekonomis.
Di pertemuan itu, Kang Yosep membahas cerpennya Eka Kurniawan yang terkesan nakal itu. Ia menceritakan kisah gajah dan kawan-kawannya, di mana sekumpulan binatang ada yang berkata, katanya di dunia manusia ada alat untuk mendinginkan sesuatu-- kulkas namanya.
Singkat cerita si Gajah ini penasaran, di mana dan seperti apa alat pendingin itu. Ia ingin ke sana mendinginkan tubuh bongsornya tersebut. Datanglah ia ke satu rumah, di sana ternyata hanya ada kecil. Si Gajah pun berceritakan apa benar ada alat untuk mendingikan sesuatu seperti yang dikatakan temannya di hutan.
Anak itu mengatakan benar. Betapa senangnya gajah itu. Namun terjadi sesuatu karena tubuh si gajah itu tak masuk ke sana. Di carilah cara bagaimana caranya agar tubuhnya masuk ke sana. Tak lama atas ide anak-anak itu, maka masuklah tubuh gajah itu. Dengan cara dicincang seluruh tubuhnya. Endingnya gajah itu mati.
"Yang penting gajah itu bahagia," kata anak-anak itu sesudah memasukan tubuh gajah ke kulkas.
Artinya apa, versi Kang Miftah sih pesan moralnya itu walau pun menyakitkan dicincang itu tapi itu menyenangkan bagi si gajah. Kenapa? Karena keinginannya ingin masuk ke kulkas. Sesederhana itu pikiran anak-anak, yang bahagia.