Ada persfektif baru yang saya dapatkan setelah membaca kitab Ihya Ulumuddin karya masterpice-nya Imam Ghazali. Misalnya kritik keras beliau kepada Ulama yang dekat dengan pemerintah.
Rusaknya rakyat karena rusaknya pemimpinnya. Rusaknya pemimpin karena rusak Ulama dan qadhi-nya yang hilang prinsip suci pada agamanya. Begitu kata beliau. Rajin datang dan mengunjungi penguasa, demi tujuan receh tanpa nilai-nilai keislaman. Sesungguhnya yang begini banyak digelari ulama suu'.
Sebagian kelompok Islam menerjemahkan kalimat di atas secara apa adanya, bahwa seharusnya tokoh agama harus menjauh pemerintah. Pemerintah itu sumber keduniawian, segala pangkal kerusakan iman di sana. Seperti kita tahu, politik itu kotor maka begitupula produknya nanti.Â
Sebagian kalangan Islam yang lain justeru melihat argumentasi Imam Ghazali itu relevan di masa itu bukan sekarang. Kenapa bisa begitu? Karena di masa itu dunia Islam sedang mengalami kemunduran.
Peradaban Islam yang berada di pucuk peradaban dunia runtuk karena ummat Islam yang tergoda dengan kedigdayaan. Para pemimpinnya tersekat oleh gaya hedonis dan terpenjara perang saudara.
Kesempatan ini digunakan dengan baik oleh mereka yang kurang simpati dengan peradaban dunia Islam yang mencengangkan itu. Dengan upaya devide et rule kemudian devide et ampera, sehingga para pejabat negara Islam tidak fokus pada cita-cita luhur tapi syahwat berkuasa tak terhingga.
Pemerintah seperti ini yang dikoreksi oleh Imam Ghazali agar dijauhi dan tak boleh kita bemain mata dengan rezim dzolim itu, sedang sekarang-- tambahan penerjemah kitab itu-- kita berada di masa demokrasi tumbuh dan pemerintah bisa dikontrol dan terkontrol, untuk apa kita jauhi kalau kita merasa mampu untuk membantu bekerja untuk negara.
Dua persfektif ini berkembang di masyarakat muslim. Maka muncul klasifikasi-klasifikasi muslim di dunia. Disebut gerakan ini, tradisional, radikal dan fudamental, lawannya itu liberalis, moderat dan eksklusif. Begitu terus kita berdebat.
Sejatinya, bukan itu yang harus kita debatkan; tapi apa upaya yang kita dapat berikan untuk agama yang kita yakini. Bukan terus berada di makam saling menyalahkan tapi merangkul hal-hal apa yang tak sejalan dengan pemerintah. (***)
Pandeglang, 26 September 2024Â Â 00.21
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H