Seru juga ya, debat antara Gus Wafi dan Guru Gembul di Rabithah Alawiyah meski sudah satu pekan lebih masih tetap jadi topik hangat di berbagai media diperbincangkan. Satu di antaranya Prof. Moeflich yang membedah pemikiran dari Guru Gembul.
Kata beliau, tuduhan bahwa argumen Gus Wafi terkait definisi ilmiah yang disangkal Guru Gembul, itu kurang tepat. Kenapa? Justeru definisi yang dikemukakan Gus Wafi itu ilmiah. Jelasnya, ilmiah versi Islam. Islam melihat ilmiah ya logis, bisa dipertanggungjawabkan dan hakikatnya ke Allah. Fungsinya ilmu itu kan, ketika semakin banyak ilmunya maka semakin bagus iman dan amalnya. Muaranya pasti ke Allah, itu dasar dari sikap kita sebagai hamba.
Sedangkan Guru Gembul tetap ngotot tidak ilmiah, apa yang dikatakan Gus Wafi, karena ilmiah itu ya kaidah yang teruji dan bisa dipertanggungjawabkan. Tak batas dan tempat. Kaidahnya jelas tak seperti Gus Wafi, versi Ilmiah yang hanya warisan keilmuan Islam yang dianggapnya subjektif. Di sini nampak, argumen Guru Gembul orientasinya lebih ke Barat. Hanya menyandarkan pada panca indra.
Singkatnya di sini kita melihat ada dua arus pemikiran, ilmiah guru gembul orientasinya lebih ke barat sedangkan gus wafi ke kental ke tradisi ulama-ulama Islam. Kalau dikatakan mana yang mana paling ilmiah, saya pikir, tergantung kita melihatnya dari sisi mana. Semua ilmiah dengan versinya, terkecuali kalau ada argumen alternatif yang menggabungkan keduanya.
Misalnya guru gembul juga selain mengutip sumber dari barat juga mengutip pernyataan ulama di masa pertengahan Islam juga, maka jelas. Begitupula gus Wafi mengutip argumen ilmuah dari barat yang cukup banyak, tentu lain ceritanya. Masalahnya, keduanya punya corak pemikiran yang berbededa.
Walapun memang agak paradoks kalau dikatakan ilmiah versi guru gembul dikatakan hasil konsensus para ilmuan, sedangkan gus wafi bukan. Padahal kata Prof. Moeflich, tradisi barat sekarang justeru banyak mengadopsi dari tradisi ilmu keislaman. Apa yang dikutip gus Wafi itu warisan pemikiran yang sudah menjadi konsensus ulama di masa itu.
Tradisi ilmiah yang barat sekarang berkembang itu baru di lahir di abad 17, sedangkan di abad sebelumnya memakai kaidah siapa. Seperti kita tahu di masa-masa itu tradisi barat masih di masa kegelapan. Kalau harus jujur, tradisi islam yang lebih dulu tumbuh pun berkembang.
Di sini kita bisa melihat bahwa ada dua kutub pemikiran yang berbeda. Tentu saja ini bagian dari khazanah pemikiran Islam yang patut kita syukuri sebagai bangsa. Keberagaman bisa besar beriringan bukan untuk saling mengujat dan menjatuhkan justeru mengedukasi kita. Tujuannya untuk kemjuan Islam. Niatnya untuk kemakmuran negara. Motifnya untuk kita lebih dewasa lagi bersikap.
Di titik ini, sudah saatnya kita mengelola keberagaman untuk menciptakan ruang yang lebih bersahabat pada aktifitas keilmuan. Bagaimana semangat keimuan mendorong kita agar lebih produktif dan cerdas menghadapi tantangan zaman. Dua hal yang kita jauhi: terlalu obsesif dengan pemikiran modern dan jumud terhadap pemikiran lawas. Oleh karenanya, semangat belajar memang tak kenal batas seperti sabda nabi. Wallahu'alam. (***)
Pandeglang, 17 September 2024 Â 23.01