Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dualisme Lebaran Ketupat

28 Agustus 2024   08:19 Diperbarui: 28 Agustus 2024   08:48 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber wikipedia.com

Konon kabarnya, ada Ulama Kasyaf yang mendengar bahwa katanya di malam rabu wakasan Allah menurunkan 3000 lebih bala dan penyakit. Merespon itu, sebagian ulama menganjurkan untuk memperbanyak sedekah. Kenapa sedekah? Karena sedekah menolak bala dan penyakit. Begitu kata Nabi saw.

Terus dari mana lebaran kupat asalnya?

Menurut guru saya, itu gagasan dari Syaikh Nawawi yang merenung bagaimana caranya mengagabungkan antara doa, silaturahim dan sedekah. Tangan beliau yang kebetulan, tengah memegang daun kelapa muda merangkai sendiri membentuk ketupat. Dari situ beliau masyarakat untuk membuat ketupat. Setelah matang di bawa ke masjid untuk dibacakan doa lantas nanti di bagi-bagikan. Tergabunglah tiga itu; doa, sedekah dan silaturahim.

Sejauh yang saya tahu, tradisi lebaran ketupat di rabu wakasan sendiri hanya terkonsentrasi di wilayah Pandeglang. Mungkin di daerah lain hanya sebagaian kecil saja, di Pandeglang memang cukup ramai tak ubahnya seperti lebaran. Bahkan yang masih melaksanakan titah tetua, di hari rabu waksaan libur seperti lebaran. Pasar juga biasanya sepi.

Meskipun ini hanya tradisi yang tak ada di zaman nabi tapi lebaran ketupat itu bentuk inovasi ulama dulu dalam berdakwah. Bagaimana masyarakat lebih agamis dan punya nilai kebersamaan dalam bermasyarakat. Maka baiknya, rabu wakasan harus seragam. Demi tercipta kesatuan dan persatuan masyarakat.

Oleh sebab itu, di sini perlu aktifnya peran tokoh masyarakat untuk membimbing warganya. Bagaimana pun mereka ini yang punya otoritas yang menjadi refresentatif warga. Jangankan biarkan warga bertindak semaunya, pun jangan pula tokoh semaunya bertindak. Di sini pentingnya memahami tupoksinya masing-masing. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 28 Agustus 2024   08.06

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun