Konon kabarnya, ada Ulama Kasyaf yang mendengar bahwa katanya di malam rabu wakasan Allah menurunkan 3000 lebih bala dan penyakit. Merespon itu, sebagian ulama menganjurkan untuk memperbanyak sedekah. Kenapa sedekah? Karena sedekah menolak bala dan penyakit. Begitu kata Nabi saw.
Terus dari mana lebaran kupat asalnya?
Menurut guru saya, itu gagasan dari Syaikh Nawawi yang merenung bagaimana caranya mengagabungkan antara doa, silaturahim dan sedekah. Tangan beliau yang kebetulan, tengah memegang daun kelapa muda merangkai sendiri membentuk ketupat. Dari situ beliau masyarakat untuk membuat ketupat. Setelah matang di bawa ke masjid untuk dibacakan doa lantas nanti di bagi-bagikan. Tergabunglah tiga itu; doa, sedekah dan silaturahim.
Sejauh yang saya tahu, tradisi lebaran ketupat di rabu wakasan sendiri hanya terkonsentrasi di wilayah Pandeglang. Mungkin di daerah lain hanya sebagaian kecil saja, di Pandeglang memang cukup ramai tak ubahnya seperti lebaran. Bahkan yang masih melaksanakan titah tetua, di hari rabu waksaan libur seperti lebaran. Pasar juga biasanya sepi.
Meskipun ini hanya tradisi yang tak ada di zaman nabi tapi lebaran ketupat itu bentuk inovasi ulama dulu dalam berdakwah. Bagaimana masyarakat lebih agamis dan punya nilai kebersamaan dalam bermasyarakat. Maka baiknya, rabu wakasan harus seragam. Demi tercipta kesatuan dan persatuan masyarakat.
Oleh sebab itu, di sini perlu aktifnya peran tokoh masyarakat untuk membimbing warganya. Bagaimana pun mereka ini yang punya otoritas yang menjadi refresentatif warga. Jangankan biarkan warga bertindak semaunya, pun jangan pula tokoh semaunya bertindak. Di sini pentingnya memahami tupoksinya masing-masing. Wallahu'alam. (***)
Pandeglang, 28 Agustus 2024 Â 08.06
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H