Sebagai orang yang menyelami dunia pergerakan, saya memahami kecemasan kawan-kawan mahasiswa kemarin. Kecemasan ini menyebar pula pada para pelajar. Tak ada cara lain selain harus bicara maka harus pula turun ke jalan sebagai protes keras. Meski penuh resiko, begitulah perjuangan selalu ada harga di baliknya.
Apa sih yang diperjuangkan kawan-kawan kita itu? Rela panas-panasan. Desak-desakan. Bersuara, yang kadang terkena ancaman kalau terlalu over. Rawan ricuh karena ada provokasi. Seperti kemarin, tak sedikit kawan-kawan itu yang terluka. Mungkin pula, dari aparat yang kebagian tugas di lapangan pun sama, yang terluka ada. Cuma tak sama.
Bedanya, kalau mahasiswa dan pelajar terluka maka mengambil biaya dari uang saku dan tak ada jaminan apa-apa dari negara. Katakan mereka gugur, ya sudah gugur aja. Tak ada jaminan apa-apa. Tak ada perlindungan.
Sedangkan teman-teman dari polisi maka punya jaminan dari negara. Kalau terluka, tak harus mengambil dari saku. Singkatnya, punya perlindungan. Di sini resikonya berbeda. Namun karena berangkat dari niat teguh, resiko itu pun tak indahkan.
Sudah nyata, gerakan kawan-kawan itu bukan untuk melawan aparat hukum. Apa yang mau di lawan, wong sipil yang secara aturan tak boleh dan tak punya wewenang apa-apa dengan senjata tajam. Alatnya apa? Suara! Langkah mereka, ya nyata, bersuara untuk menyuarakan jerit aspirasi rakyat. Mereka di antara kepanjangan lidah rakyat.
UU Pilkada jelas bakal jadi soal kalau DPR mau mengotak-atik. Seperti kemarin, peristiwa yang seyogyanya tak harus terjadi. Sesama anak bangsa seperti sedang adu kekuatan.
Seharusnya, demontrasi kemarin tak perlu ada bentrokan-bentrokan apalagi berakhir anarkis. Toh keduanya menyadari sama-sama anak bangsa yang sedang menjalankan tugasnya sesuai kapasitasnya. Polisi sebagai pengayom masyarakat dan mahasiswa sebagai suara kritis masyarakat. Tujuanya baik, untuk dan demi rakyat lagi.
Apalagi demo kemarin agak beda. Ada para komedian yang turun gunung. Ada pula aktor dan sutradara yang hadir. Ke sana bukan untuk akting atau tebar pesona. Mereka bergabung karena punya kecemasan yang sama, begitula cinta bersemi untuk negeri tercinta.
Lantas dengan kita yang tak turun ke lapangan?
Tak ada apa-apa. Itu soal pilihan dan sikap. Kalau kamu setuju, tinggal doakan yang terbaik. Kalau tak sejalan dengan pemikiran kawan-kawan mahasiswa, saling menghormati saja. Biarkan semua meluapkan kegundahannya sebagaimana undang-undang mengijinkan. Demokrasi menghormati perbedaan pendapat untuk itu memberi koridor-koridor positif di dalamnya.