Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Hari Lahir Merdeka

23 Agustus 2024   00:57 Diperbarui: 23 Agustus 2024   05:28 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Di hari merdeka kemarin, saya merasa lemas. Lemas bukan karena memikirkan Pilkada yang sesudah pilpres bau banget dengan KKN. Bukan memikirkan pula Anies yang ditinggalkan partai yang mengusungnya karena sebab yang entah, di detik-detik yang cukup menentukan.

Di hari 17 itu saya tengah dikerok-in. Badan saya lagi tak karuan. Aktivitasnya tak lain tiduran, sesekali baca buku dan lebih banyak meringis menerima kenyataan. Bukan kenyataan soal dinasti politik loh. Soal itu mah, ya sudah jadi obrolan warung kopi.

Ada banyak yang ingin saya tulis dan lebih banyak yang berakhir di angan doang. Gimana mau menulis dan mikir, mikirin kondisi tubuh saja cukup menguras emosi. Apalagi kalau ditambah memikirkan dinamika politik, bisa-bisa tubuh seperti seonggok daging yang banyak tulangnya. Kurus lebih tepatnya.

Di masa hibernasi itu, saya melihat perayaan agustusan di kampung sendiri kurang menarik. Ada sih lomba tapi di RT sebelah. Ada sih lomba, di kantor desa. Di RT sendiri, entahlah.

Adik saya sampai bertanya, kenapa gak ada lomba. Katanya pengurus kepemudaan. Saya hanya menukas, di kampung sendiri yang dibutuhkan bukan ide tapi dana. Orang lebih butuh makan daripada nasihat. Adik saya hanya mengangguk sok paham, walau saya yakin tak paham seperti saya juga yang sok-sok bijak.

Sebagai orang rumahan, yang banyak bergumul di dalam rumah, memang tak mudah kalau harus berinteraksi dengan warga sekitar. Apalagi menggerakkan masa. Hal yang ditakutinya kalau diabaikan pas ngomong, bisa-bisa dianggap benalu. Idealnya kan, punya ide dan berani melakukannya. Tak sekedar bicara saja.

Sedangkan saya termasuk orang yang banyak bicara dan miskin langkah, bagaimana nanti orang mau percaya dinilai nanti, "hah, banyak ngomong doang tapi tak ada gerak apa-apa." Berabe banget, kan?

Keinginan saya sih sederhana, gimana caranya acara perayaan HUT Ri itu semaraknya seperti dulu. Tidak terjebak pada fanatisme. Tidak kenal RT mana dan keluarga siapa. Namanya kemeriahan bersama. ya seharusnya bersama-sama meramaikannya. Tujuannya, bukan siapa yang yang menang dan seberapa hadiahnya, tapi seberapa meriah menjalin persaudaran dengan sesama warga.

Baca juga: Tidak Menulis

Kalau di ukur seperti apa hadiahnya memang kurang seimbang. Lagi-lagi kan, acara HUT RI tujuannya untuk membangkitkan semangat nasionalisme. Syukur-syukur menggali penghormatan kepada pahlawan bangsa. Seharusnya begitu. (**)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun