Sebut saja namanya Lita. Ibu rumah tangga biasa dengan tiga buah hati. Suaminya kerja serabutan. Namanya serabutan. Kadang ada, kadang juga engga. Gimana rejeki dan tawaran saja.
Lita termasuk perokok, pun suaminya perokok berat. Dengan kondisi ekonomi keluarga yang carut-marut, harus pula dibagi untuk beli beras, jajan tiga anaknya, tagihan listrik dan kebutuhan rutin lainnya; rokok menjadi barang wajib yang harus ada untuk dihisap.
Demi merokok kadang rela menyunat anggaran lain. Kalau masih mepet juga, suami ga kerja, kebutuhan banyak dan pengen merokok, lagi-lagi utang. Utang ke warung tetangga, nanti pindah ke tetangga lain kalau bon sudah membengkak. Gali lobang tutup lobang, begitu seterusya.
Aku yang melihatnya agak heran. Ngapain sih harus merokok kalau tak punya uang cukup. Lebih baik uang digunakan untuk keperluan yang lebih mendesak, semisal beli beras, bayar listrik, jajan anak-anak dan bayar utang!
Bayar Utang
Jarang loh ada orang menempatkan "bayar utang" diurutan pertama dalam kamus hariannya. Iya, kalau utang ke lembaga resmi diutamakan tapi pada per orang-an seringkali pura-pura tak ingat.
Padahal namanya utang, tak besar dan tak kecil sama saja. Status hukumya sama, mubah dilakukan dan wajib dibayarkan. Utamakan yang kecil agar terasa ringan. Bukan berarti yang besar diabaikan loh, awas!
Lita tak begitu, utang dulu terus nanti pindah ke warung lain. Kalau ke warung lain mungkin tak ngutang, nah pas tak ada uang baru kembali untung ngutang deh ke warung yang lama.
Kalau sudah begini ngawur. Bukan tutup lobang gali lobang seperti kata Bang Haji Rhoma tapi gali lobang tambah lombang yang ada. Berat nih mah. Wajar kita lihat warung-warung kecil banyak yang gulung tikar, bukan tak ada yang membeli. Justeru yang beli banyak cuma pembayarannya ditunda untuk waktu yang tak wajar.
Realistis