Salah satu penyebab utama timbulnya kemiskinan pada masyarakat nelayan yaitu belum maksimalnya program pemberdayaan pembangunan di kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang berorientasi pada pelaku sektor dominan berbasis gender.Â
Kebijakan pemberdayaan kepada tenaga kerja sektor perikanan masih menjadi tantangan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia  dan taraf ekonomi para nelayan secara berkelanjutan.
Salah satunya adalah nelayan perempuan yang merupakan bagian dari sebuah proses mata rantai pembangunan ekonomi berbasis sumber daya kelautan. Perempuan pesisir memainkan fungsi dan perannya bukan hanya untuk menunjang pendapatan ekonomi keluarga tetapi turut mengambil bagian dalam struktur pendapatan daerah secara ekonomi.
Untuk itu, perempuan pesisir merupakan komponen penting dalam pembangunan ekonomi di wilayah pesisir. Hal ini dilihat dari  potensi sosial serta potensi ekonomi yang sangat strategis untuk mendukung kelangsungan hidup masyarakat nelayan secara keseluruhan serta subangsi terhadap ekonomi daerah.
Kontribusi perempuan pesisir dalam memainkan peran ekonomi dilihat dari peran dan keiikut sertaan mereka sebagai pedagang pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar, buruh upahan, maupun tenaga pengolah hasil perikanan serta peran lainnya yang tidak pernah terlihat.
Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga perempuan pesisir membutuhkan jaminan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan. Program-program pemberdayaan yang menitik beratkan pada peningkatan kapasitas/soft skill perempuan di sektor pertanian sudah harus menjadi salah satu isu potensial dalam perumusan dan perencaaan pembangunan sumber daya manusia se wilayah kepulauan.
Data Badan Pusat Statistik dalam publikasi Pekerja Perempuan Indonesia (2019) menunjukan bahwa jika ditinjau berdasarkan daerah tempat tinggal, persentase  perempuan perdesaan berumur 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan, yakni sebesar 50,36 persen berbanding 7,38 persen. Perempuan di pedesaan yang bekerja dalam sektor pertanian turut memberikan kontribusi dalam struktur tenaga kerja.
Menurut data Pusat Data dan Informasi Kiara (2018) mencatat sedikitnya 5,6 juta orang terlibat di dalam aktivitas perikanan. Aktivitas ini mulai dari penangkapan, pengolahan, sampai dengan pemasaran hasil tangkapan. Dari jumlah itu, 70 persen atau sekitar 3,9 juta orang.
Provinsi Maluku sendiri dilansir dari Ekonomi.Bisnis (2020) memiliki Potensi sumber perikanan di Maluku mencapai 4,66 juta ton per tahun. Angka ini sekitar 37 persen dari total 12,5 juta potensi ikan ada di Indonesia. Kemudian disusul di Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing sebanyak 223,6 ribu orang dan 187,1 ribu orang. Sebanyak 37 persen sumber daya ikan yang ada di Indonesia ada di kawasan Maluku.
Berdasarkan realitas diatas dapat disimpulkan bahwa nelayan yang adalah salah satu tiang sektor tenaga kerja sebagai pelaku  dalam aktivitas perikanan sangat mendominasi. Data Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku (2009) juga menujukan bahwa menurut lapangan pekerjaan utama,persentase terbesar penduduk Provinsi Maluku bekerja pada Sektor Pertanian yang didalamnya terdapat sektor perikanan yaitu sebesar 56,28 persen.
Sudah tentunya sektor dominan yaitu sektor kelautan  menjadi komoditi ekonomi utama, tenaga kerja dalam sektor inipun mempunyai pengaruh terhadap subangsi pendapatan daerah. Jika dilihat berdasarkan data BPS Provinsi Maluku, perkembanganperekonomian Maluku pada triwulan ke dua tahun 2019 tumbuh positif sebesar 6,09persen. Pertumbuhan ekonomi Maluku didorong oleh beberapa sektor lapangan usaha yang memberikan  kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi antara lain pertanian, perikanan perdagangan dan serta industri pengolahan.
Dalam sebuah komunitas ekonomi perempuan-perempuan Maluku mereka sangat besar, peran mereka dari proses praproduksi, produksi, sampai dengan pasca produksi. Tugas yang begitu kompleks dan sekaligus berperan untuk memastikan pemenuhan proteinbangsa. Tanpa perempuan pesisir, rumah tangga dan industri perikanan tidak akan bisa berdiri dengan tegak hingga mengirimkan protein ke atas meja makan di rumah warga Negara Indonesia.
Perempuan pesisir khususnya perempuan yang bermata pencairan sebagai nelayan di wilayah maritim yaitu provinsi Maluku adalah perempuan-perempuan yang menjadi tiang penyangga bukan hanya untuk pemenuhan sumber katahanan rumah tangga tetapi memiliki peran dan kontribusi yang besar sebagai penyangga perekonomian lokal. Maka dari itu sudah semestinya mereka mendapat perhatian dalam bingkai kebijakan dalam lingkup nasional maupun daerah.
Namun demikian, dalam berbagai aspek kajian ataupun program- program pembangunan pesisir kenyataannya perempuan-perempuan pesisir luput  dari objek utama kebijakan yang dibuat. Berikut dibawah ini merupakan potret wajah perempuan pesisir yang perannya sangat besar tetapi luput dari kaca mata kebijakan pemerintah.
Profesi nelayan masih saja dipandang seputar dominasi kaum laki-laki selaku pelaku utama dalam sektor ini, Â namun pada kenyatannya di beberapa daerah di Indonesia, kaum perempuan cenderung memiliki peranan lebih signifikan dibanding laki-laki, baik di area domestik maupun pada kegiatan produktif yang berhubungan dengan perikanan dari hulu hingga ke hilir. Hal ini cukup memberikan pengaruh terhadap pengakuan status perempuan-perempuan pesisir yang mempunyai mata pencarian sebagai nelayan.
Kenyataan diatas mengakibatkan perempuan pesisir mengalami kendala dalam mengakses bantuan atau fasilitas yang dapat meningkatan taraf hidup mereka atau menopang profesi mereka sebagai perempuan-perempuan hebat dilautan guna memenuhi kebutuhan pangan orang perkotaan.
Perempuan kerap dipandang sebelah mata dan haknya belum diberikan sepenuhnya sebagai subjek hukum. Padahal, hak dan kesetaraan tersebut bagi  perempuan pesisir merupakan pintu masuk dan kunci bagi mereka untuk dapat mengakses fasilitas, program pemberdayaanatau pelatihan, serta program bantuan sosial yang diberikan oleh negara serta pemerintah
Perjuangan perempuan pesisir untuk diakui sebagai "perempuan nelayan" oleh pemerintah dapat memudahkan mereka mengakses program peningkatan kapasitas yang bermanfaat untuk pengurangan kemiskinan, membangun kapasitas perempuan pesisir itu sendiri.Â
Jika profesi nelayan masih menggunakan pendekatan didominasi oleh kaum laki-laki sehingga mereka lebih dekat terhadap program-program atau bantuan pengentasan kemiskinan maka hal tersebut dapat mengakibtakan perempuan pesisir tetap tinggal dalam kungkungan bayang-bayang kemsiskinan. Program atau kebijakan bagi nelayanmasih bias  gender (berfokus pada peranan nelayan lakilaki saja).
Orientasi pembangunan baik pembangunan ekonomi maupun ketenagakerjaan di provinsi Maluku harusnya berorientasi kemaritiman. Pendekatan yang digunakan dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah derah harus dapat menjawab persoaan persoalan di sektor sektor strategis seperti sektor kelautan. Pendekatan ini dapat menjawab tantangan dan persoalan yang selama ini menjadi benang merah upaya pengembangan dan pembangunan ekonomi lokasl khususnya ekonomi maluku.
Semakin dekat kebijakan yang diambil menjawab persoalan maka semakin efektif juga peningkatan pengelolaan sumber daya alam dilihat dari sumber daya manusia dan pengelolaan sumber daya alam itu sendiri. Dapat kita lihat bahwa pendekatan kebijakan yang diambil lebih berorientasi ke daratan dan bukan ke laut sementara provinsi Maluku merupakan daerah kepulauan.
Pemerintah daerah. diminta dapat memetakan kebutuhan dan keunggulan dari potensi daerah dalam pembanguna daerah. Misalnya saja pendekatan kebijakan ketenagakerjaan atau pembangunan sumber daya manusia dariri sisi kelautan. Pelatihan pelatihan yang dibuat oleh pemerintah harus juga memprioritaskan struktur tenaga kerja dominan seperti nelayan dalam pelatihan pelatihan.Â
Peningkatan pelatihan tenaga kerja berbasis kemaritiman atau kebutuhan kelautan harus mnejadi salah satu prioritas provinsi Maluku. Hal ini bukan hanya menitik beratkan kepada nelayan laki-laki tetapi juga diperuntukan untuk nelayan perempuan dalam menunjang perenanya melaksananakan kegitatan ekonomi produktif.
Komposisi tenaga kerja di daerah pedesaan atau pesisir tentunya dapat menggambarkan bahwa pada daerah daerah penghasil sumber daya alam berbasis keluatan merupakan basis kantong-kantong tenaga kerja yang dominan di sektor perikanan atau kelautan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI