Mohon tunggu...
Mahrus Ali
Mahrus Ali Mohon Tunggu... -

Untuk saat ini saya tinggal di Yogyakarta, kota dengan seribu pesona.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Lain Suamiku

20 Desember 2011   06:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:00 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebenarnya aku malu menceritakan hal ini. Tapi toh tak ada gunanya juga jika aku pendam lama-lama. Setidaknya ada sedikit rasa lega. Aku belum pernah menceritakan ini kepada siapapun. Ini adalah pertama kalinya aku bercerita.

Sudah sebulan ini aku melihat keanehan pada diri Bang Hanif, suamiku. Bukan secara fisik, tapi lebih secara perilaku sehari-hari. Kadang aku pikir mungkin usia pernikahan kami masih terlalu muda, jadi peristiwa-peristiwa seperti ini agak mengalihkan pikiranku. Kami menikah 4 tahun yang lalu. Tak ada masalah yang yang berarti dalam rumah tangga kami. Posisi Manager di sebuah bank yang dimiliki oleh Bang Hanif membuat riwayat keuangan kami tak bermasalah. Gaji Bang Hanif ditambah bonus-bonus lainnya sangat lebih dari cukup untuk kehidupan kami bertiga, Bang Hanif, aku dan anak kami, Rasyid, yang baru berumur 3 tahun bulan depan. Intinya tak ada masalah keuangan pada keluarga kami. Tapi saat ini aku melihat keanehan dalam diri Bang Hanif, entah apa. Aku sulit mengungkapkannya. Kalau masalah sayang, aku tak pernah meragukan apapun dalam diri suamiku ini. Kasih sayang inilah yang membuatku mau menerima pinangannya dulu. Bang Hanif juga sangat menyayangi Rasyid. Tapi aku tak bisa membohongi pertanyaan dalam hatiku kalau ada sesuatu yang aneh dalam dirinya belakangan ini. Aku belum menceritakan kegelisahanku pada orang lain. Aku ingin mencari jawabannya sendiri.

Banyak teman dan keluarga kami bilang kalau kami adalah pasangan yang sangat cocok, pas dan romantis. Aku adalah seorang marketing di sebuah bank tempat Bang Hanif sekarang bekerja. Bang Hanif adalah atasanku. Dulu aku memanggilnya Pak Hanif karena memang dia atasanku. Siapa yang tidak tertarik padanya. Dia tampan, cerdas, mapan dan lajang. Wajahnya seperti oase di tengah gurun pasir, menyejukkan. Tatapan matanya tajam dengan pemikiran-pemikiran cerdas. Awalnya aku berpikiran andai aku menjadi istrinya, tapi lama-lama pikiran itu aku tepis. Aku bukan satu-satunya wanita di tempat kerjanya. Banyak wanita-wanita cantik, pintar dan cerdas di sekelilingnya. Aku mungkin menjadi nomor kesekian untuk masalah kecantikan. Bukan berarti aku paling jelek, wajahku adalah wajah rata-rata pegawai bank. Ya .. untuk menyenangkan diri, bolehlah aku bilang aku cantik, tinggi, sedikit cerdas (di urusan pemasaran tentunya) dan berkarakter. Kondisi dan situasi kerja membuat kami sering bertemu. Aku harus melaporkan hasil pekerjaanku kepadanya seminggu sekali. Mungkin karena kebiasaan inilah tumbuh rasa ketertarikan di antara kami berdua. Jika awalnya laporan hasil kerjaku harus diserahkan setiap minggu, setelah tumbuhnya rasa ketertarikan itu aku bisa melaporkan hasil pekerjaanku hampir setiap hari. Setelah empat bulan pendekatan, Bang Hanif melamarku dan tiga bulan berikutnya kami menikah. Akhirnya akulah yang jadi pemenang. Aku tak pernah sebahagia ini. Aku tak pernah merasakan sesempurna ini. Bang Hanif sangat perhatian dan seorang penyayang keluarga. Aku perempuan yang sangat beruntung mendapatkan suami seperti Bang Hanif. Seperti yang aku ceritakan tadi, dia tampan, tinggi, gagah, mapan. Pendek kata dia sempurna. Jika dongeng seorang putri menikah dengan pangerang tampan berkuda putih itu benar-benar ada, mungkin aku adalah cerita tersebut di masa kini. Ini seperti surga yang jatuh ke bumi.

Karena peraturan di kantor kami tidak membolehkan pasangan bekerja dalam satu kantor, maka aku yang memilih mundur. Bang Hanif membantuku mendirikan usaha kecil-kecilan. Dia ingin agar aku tetap beraktifitas, tidak hanya berdiam diri di rumah. Tentu saja aku senang. Ini juga bagian dari impianku sejak dulu. Aku mendirikan sebuah toko bunga yang jadi satu dengan toko kue dan cafe. Ini akan tetap menjaga aku tetap sibuk, meski tidak terlampau sibuk. Setahun setelah pernikahan kami lahirlah Rasyid. Rumah tangga kami semakin lengkap dan sempurna. Aku sangat bahagia tapi tidak untuk belakangan ini. Bang Hanif menjadi aneh.

Seperti biasanya Bang Hanif pulang sekitar jam 5 sore. Tak langsung menuju rumah, dia selalu menjemput kami, aku dan Rasyid. Sebenarnya aku bisa menyetir mobil sendiri dan mendudukan Rasyid di kursi belakang dengan sabuk pengaman untuk anak-anak, tapi Bang Hanif bersih keras untuk selalu menjemput kami. Ya ... aku anggap itu sebagai bentuk kasih sayang dia kepada kami meskipun terkadang itu merepotkanku karena aku jadi lebih mengandalkan dia. Seperti biasanya juga dia selalu tampak segar walau rutinitas dan pekerjaan kantor selalu membuatnya duduk berjam-jam dalam ruangan. Suara mobil terdengar lamat-lamat. Aku hafal dengan suara ini. segera aku siapkan sepotong blueberry cake dan secangkir kopi hangat.

“Hai” sapa Bang Hanif dengan senyum manisnya. Dengan ekspresi manja ia tepuk-tepuk perutnya tanda ia lapar.

“Ok” aku jawab ekpresinya. Kuambilkan makanan yang sedari tadi aku siapkan untuknya. Melihat ia makan dengan lahap sangat menyenangkan. Ia tak mau lebih dari sepotong, katanya itu akan mangacaukan dietnya.

“Mana Rasyid?” tanyanya ditengah-tengah kunyahannya.

“Lagi main-main sama pegawai-pegawai dibelakang”. Tak lama kemudian Rasyid datang dan langsung duduk di pangkuan ayahnya. Tak banyak kata. Mereka seperti sebuah magnet dan besi. Jika ada ayahnya, aku jadi orang yang kesekian kalinya yang ia panggil. 30 menit kemudian kami pulang dengan Range Rover melaju halus.

***

“Ma, nanti jam tujuh Papa mau ke fitnes center, tolong ingetin ya” pinta suamiku suatu sore.

“Sejak kapan Papa fitnes di luar, biasanya kan di rumah” tanyaku. Kami punya beberapa peralatan olah raga meski tak selengkap fitnes center. Biasanya juga suamiku berolah raga di rumah atau joging di sekitar komplek.

“Di rumah gak ada temenya, Ma. Sepi,” jawab suamiku sambil mencukur rapi jambang dan kumisnya.

“Siapa temen Papa disana?” tanyaku curiga.

“hahaha .. Tenang Ma. Sama temen kuliah Papa kok. Cowok semua” jawabnya sambil tertawa.

***

Malam ini Bang Hanif “menyentuhku” lagi. Ya ... sebenarnya bukan hanya menyentuh, lebih dari itu. Kami seorang suami istri, jadi silahkan mengartikan kata menyentuh itu dengan arti yang pas. Bukan itu yang menjadi intinya, tapi keanehan yang aku rasakan. Ini tidak seperti biasanya. Sentuhannya lain, maksudku bukan sesuatu yang membuatku bahagia, dengan kata lain bergairah. Sentuhannya aneh. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Dia seolah-olah bukan menghadapiku tapi orang lain. Hembusan nafasnya berbeda. Tatapan matanya aneh. Rabaannya mengarah ke daerah-daerah yang seharusnya tidak dia lakukan karena larangan agama kami. Aku bingung harus menjelaskan seperti apa. Dia tidak seperti yang biasanya.

Aku masih memikirkan kejadian tadi malam. Apa mungkin dia sedang belajar seksologi model baru dari seorang dokter. Kalaupun dia berkonsultasi, setidaknya dia mengajakku untuk itu karena aku istrinya, patner yang akan menemaninya.

***

Hari ini Bang Hanif tak bisa mengantar-jemputku karena ada rapat di kantor pusat. Ini adalah rapat rutin dan aku tahu jadwalnya. Meski aku tak lagi bekerja di kantornya tapi aku sudah hafal pertemuan-pertemuan rutin ini. Sebenarnya tak jadi masalah toh aku bisa menyetir sendiri. Kesibukan mengurus anak dan mengelola toko dan cafe cukup menghilangkan sejenak pertanyaan yang hari-hari ini beredar terus di pikiranku. Tempat fitnes baru, diet, lalu sentuhan-sentuhan yang berbeda. Fitnes dan diet tak begitu aku fikirkan karena mungkin suamiku sedang menerapkan pola hidup sehat, lagipula dia harus terlihat segar dan enak dilihat jika akan bertemu dengan nasabah-nasabah besar. Mungkin sentuhan yang berbeda inilah yang aku pikirkan.

Jam 6 sore Bang Hanif sudah di rumah. Sebelumnya dia meneleponku untuk menyiapkan makan malam besar karena dia sedang mengajak beberapa teman kerjanya untuk makan malam di rumah. Aku mengenal hampir semua yang berkunjung ke rumah. Ada beberapa yang baru, dua kasir cantik dan seorang marketing, pria. Aku belum mengenal mereka. Aku kenal baik dengan teman-teman Bang Hanif karena mereka sering berkunjung ke rumah kecuali dua kasir cantik tadi. Aku sudah berfikir yang bukan-bukan tentang mereka.

“Pa .. kasir barunya cantik-cantik ya?” aku melemparkan pertanyaan dengan agak datar dan lebih terdengar cemburu.

“Iya .. memang kenapa ma?” jawab suamiku sambil berganti pakaian dengan T-shirt dan celana bermuda warna coklat.

“Enak dong pa dikelilingi wanita cantik” kataku ketus. Suamiku hanya tertawa lalu memelukku dari belakang.

“Cemburu nih ye” kata suamiku sambil berbisik di telingaku. Aku tersenyum lalu mencubit pinggang suamiku dengan lembut.

***

Bang Hanif semakin sibuk. Dia punya bisnis baru selain pekerjaan utamanya. Katanya ini simpanan untuk anak-anak dan dana pensiunnya nanti. Bisnisnya jual beli rumah. Bang Hanif membeli rumah yang tak begitu baik kondisinya kemudian ia memperbaiki lalu menyewakannya. Bisnis barunya membuat ia pulang lebih malam dari biasanya. Jika sebelumnya pukul enam sudah berada di rumah, sekarang pukul sembilan baru berada di antara kami. Tak jarang hari Minggu ia harus ke luar kota untuk urusan transaksi pembelian.

Sudah 3 bulan ini aku tidak dapat tamu bulanan dan juga sudah 2 bulan ini Bang Hanif tak menyentuhku. Aku mengerti kesibukannya. Sebenarnya pagi kami masih berkumpul dan tak terlalu malam juga dia pulang tapi karena mungkin dia terlalu capek, setelah berganti pakaian dia langsung tidur pulas. Aku mencoba mengerti kesibukannya. Selebihnya dia sangat pengertian dan penyayang keluarga. Setiap istirahat makan siang dia selalu menyempatkanmenelepon untuk menanyakan apakah aku sudah makan siang atau bagaimana Rasyid di pre school nya lalu ini dan itu dan sebagainya. Dia penyayang anak-anak. Hari ini aku akan pergi ke dokter keluarga kami. Aku sudah melakukan test urine dan hasilnya aku positif hamil. Aku belum yakin dengan test pack. Aku belum memberitahu Bang Hanif, aku ingin memberi kejutan kepada dia nanti.

Setelah mengajak Rasyid makan malam aku pergi ke dokter. Aku titip anakku kepada pengasuhnya. Meski ini kehamilan keduaku, rasa deg-degan masih ada. Kadang agak gugup juga. Sepanjang sore aku hanya tersenyum sendiri. Bang Hanif pasti senang mendengarnya nanti. Setelah mengantri dua puluh menit, ini giliranku untuk masuk ruang pemeriksaan.

“Selamat malam, Bu Laras. Kenapa kok tiba-tiba ke sini biasanya telfon dulu. Sakit apa?” Dokter Ayu menyapaku sambil menempelkan pipinya ke pipiku. Aku sudah lama kenal dengan dia, sebelum aku menikah dengan Bang Hanif. Setelah 15 menit aku sudah bisa meninggalkan ruangan.

“Selamat ya Bu Laras. Salam buat suaminya ya” aku tersenyum dan mengangguk. Aku masuk mobil dan ingin segera pulang lalu memberitahu Bang Hanif. Aku ingin ada yang spesial buat kami. Aku tak langsung pulang. Aku mampir ke toko rotiku untuk mengambil beberapa makanan kesukaan Bang Hanif dan apotik untuk membeli beberapa dus susu ibu hamil. Sepanjang perjalanan aku hanya tersenyum dan bersenandung. Setelah membayar di kasir di apotik, aku bergegas hendak keluar. Mungkin karena terlalu terburu-buru saking senangnya, aku menjatuhkan beberapa uang receh sisa kembalian tadi. Aku ambil satu-satu uang recehku. Receh terakhir terlempar dekat dinding kaca. Sesaat mataku melihat sesuatu yang menarik. Di sebarang jalan, tepatnya di rumah berwarna hijau muda, ada mobil yang mirip dengan mobil Bang Hanif. Range Rover itu terparkir di sebelah chevrolet biru tua. Itu memang mobil Bang Hanif. Aku sangat yakin karena nomor polisi itu memang nomor polisi mobil Bang Hanif. Tapi kenapa dia di sana. Tadi siang dia bilang akan ke rumah Marwan malam ini, teman lamaku. Katanya Marwan mau menjual rumah lamanya karena tak ada yang menempati. Aku tenangkan diriku sebentar. Aku tak mau berfikir yang macam-macam.

“Halo .. Wan, katanya mau jual rumah?” tanyaku tanpa basa-basi. Aku bingung harus berbasa-basi seperti apa. Rasa ingin tahuku menekan semuanya.

“Iya rumah yang lama, gak ada yang nempati Ras. Tadi si Hanif kesini, katanya mau lihat rumahnya dulu minggu depan”

“oh ya .. tadi Bang Hanif sudah cerita. Gimana kabar Lisa dan anak-anak?” aku mengalihkan pembicaraan. Marwan bercerita sana-sini. Aku mendengarkan dengan datar. Endingnya Marwan menyudahi pembicaraan karena ingin mengantar anak-anak ke rumah neneknya.

Bang Hanif tak di rumah Marwan. Dia sudah berbohong, atau mungkin sebenarnya dia tidak berbohong. Dia sudah ke rumah Marwan tapi mungkin hanya sebentar karena Marwan akan pergi juga ke rumah ibunya. Lalu kenapa Bang Hanif ada di rumah itu. Apa itu klien barunya? Kenapa dia tak pernah bercerita soal kliennya ada di sini? Dia selalu cerita siapa kliennya, rumah yang mau di jual dimana, tipenya berapa. Berbagai pertanyaan muncul. Seingatku Bang Hanif tak pernah cerita kalau ada rumah yang akan di jual di depan apotik ini.

Seorang laki-laki keluar dari rumah tersebut. Sepertinya membuang beberapa kaleng soda kosong, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Hatiku lega. Bayangan dua kasir cantik yang pernah bertamu di rumahku dulu langsung sirna. Setidaknya pikiran kalau suamiku selingkuh sedikit bisa aku tepis. Aku tak bisa melihat aktivitas dalam rumah dari sini. Jendela kaca ruang tamu tertutup gorden. Beberapa detik kemudian ruang tamu menjadi gelap. Berganti ruang di sebelahnya yang mendadak terang. Mungkin itu ruang tidur. Aku tak bisa menelpon Bang Hanif. Tepatnya panggilanku tak diangkat. Ah mungkin masih ada negosiasi harga.

Aku sudah berada di kursi mobil. Aku tutup pelan-pelan pintu mobil dan mulai memasukkan kunci dan menghidupkan mobil. Tapi entah kenapa aku tiba-tiba mematikannya dan keluar. Beberapa detik kemudian aku sudah berada di belakang mobil suamiku. Aku pegang dadaku kuat-kuat, mencoba menyamarkan suara detak jantungku yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Berkali-kali hendak melangkah ke pintu rumah tapi kuurungkan kembali. Aku cemas. Aku tak tahu kenapa. Aku mencoba lagi dan sudah berhasil sampai di pintu rumah. Tanganku tiba-tiba lemas. Sambil memegang dadaku yang semakin deg-degan aku duduk di kursi teras, mencoba menguasai keadaan. Lagi-lagi aku tak tahu kenapa. Aku sendiri tak mengerti kenapa aku bisa berada di depan rumah ini. Tak lama setelah itu aku mendengar suara tawa di sebelah ruangan. Ruangan yang lebih terang. Ada jendela di ruangan itu, tertutup gorden putih terawang. Aku tak bisa menguasai diriku untuk mencegah melihat apa yang terjadi di dalam. Dadaku semakin berdetak cepat waktu melihat apa yang terjadi dalam ruangan di depanku sekarang. Dua laki-laki saling memeluk satu sama lain. Saling mencium leher pasanganya. Satu laki-laki memunggungi pandanganku dan satu lainnya terlihat jelas. Aku tahu siapa laki-laki itu. Dia adalah marketing di bank tempat Bang Hanif bekerja, dan tempatku bekerja dulu. Dia yang menggantikan posisiku sewaktu aku mengundurkan diri. Aku belum tahu siapa laki-laki yang memunggungi pandanganku. Beberapa detik kemudian seakan petir manyambar di hari yang panas, cermin yang cukup besar yang tertempel di dinding memberitahuku siapa laki-laki itu. Wajahnya terlihat jelas di cermin. Wajah itu wajah ayah dari anakku. Wajah yang sangat aku banggakan dan sayangi sebagai laki-laki penyayang. Lututku lemas. Tulang-tulang di tubuhku melebur satu persatu. Ada ruang kosong dalam dadaku kini. Dan lelaki lain suamiku itu tak hanya menggantikan posisiku di kantor, tapi juga di tempat tidur. Jijik, kesal, sakit bercampur jadi satu. Itu adalah lelaki yang sama yang sering datang ke tokoku, yang pernah datang ke rumahku. Aku tak menyadari ada lelaki lain suamiku. Aku menangis sambil menahan sesak. Potret hitam putih berputar-putar di depanku, Bang Hanif, Rasyid, Ibuku, lelaki itu. Mulutku tak berhenti bergetar, entah sudah berapa banyak air mataku tumpah malam ini. Bang Hanif hanya melihatku meringkuk di teras. Entah apa yang ada dipikirannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun