Mohon tunggu...
Mahmud Mushoffa
Mahmud Mushoffa Mohon Tunggu... -

Hidup untuk Belajar, Belajar untuk Hidup

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menabur Tambang Ilmu Dewantara dan Syafi’i

12 Oktober 2014   16:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:22 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, ada dua hal yang harus dibedakan, yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus berjalan seimbang. Pengajaran dalam konsep ini yaitu membebaskan manusia atau seseorang dari aspek hidup lahiriah berupa kemiskinan dan kebodohan. Sedangkan pengajaran dalam konsep ini lebih membebaskan manusia atau seseorang dari aspek hidup berupa otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik. Melihat konsep itu, apakah pengajaran dan pendidikan di Indonesia sudah sesuai dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara? Jika kita mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia sudah sesuai dengan konsep itu, mengapa sampai saat ini kebodohan dan kemiskinan masih banyak mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak dipungkiri masyarakat yang kehidupannya dekat dengan pusat pemerintahan pun, masih mengalami bencana kebodohan dan kemiskinan. Seperti halnya masyarakat yang hidup di bantaran sungai di daerah Ibu Kota Jakarta dan masih banyak lagi yang belum tersaksikan oleh mata.

Menengok kembali sosok Ki Hajar Dewantara dalam mengartikan sebuah pendidikan, menurutnya pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan dan mendidik itu sendiri. Dalam persepsinya mendidik adalah proses memanusiakan manusia. Maksudnya pengangkatan manusia ke taraf insani atau bisa dikatan sebagai usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan.

Kebanyakan masyarakat berpandangan bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan bangsa, pendidikan di Indonesia belum bisa menyentuh nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat, metode pendidikan yang cenderung banyak mengadopsi metode pembelajaran yang diciptakan oleh orang barat, tidak menggunakan metode tradisional atau produk budaya sendiri yang mana metode itu sesuai dengan nilai-nilai keluhuran bangsa. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kemandirian bangsa dalam bidang pendidikan. Terutama dalam hal mentalitas bangsa. Mentalitas bangsa ini akan memperngaruhi terhadap kualitas pendidikan di Indonesia.

Jauh sebelum kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara telah mengenalkan sebuah pendidikan ke masyarakat Indonesia, salah satunya melalui Pendidikan Taman Siswa yang telah ia dirikan. Pendidikan Taman Siswa itu dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini, seorang pendidik dituntut meluangkan waktu 24 jam untuk melayani peserta didiknya. Sistem ini bisa dikatakan sebagai juga dengan Sistem Tutwuri Handayani yang memiliki makna jawa yaitu Ing ngarso sung tuludho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani. Ing ngarso sung tulodho mempunyai arti seorang guru di depan sebagai contoh atau pauntan. Ing madyo mangun karso maksudnya guru bertindak di tengah sebagai pelopor dalam pencetusan ide kepada murid-muridnya. Tutwuri Handayani mempuyai arti seorang guru dari belakang berupaya memberikan dorongan dan arahan kepada muridnya. Sistem ini sudah tidak lagi diadopsi oleh sistem pendidikan di Indonesia. Walapun masih tetap memakai semboyan Tutwuri Handayani, jiwa Tutwuri Handayani itu seakan semakin pudar. Guru tak lagi dapat lagi digugu lan ditiru karena tidak semua guru mempunyai karakter dan sifat yang pantas untuk ditiru. Hal ini membutuhkan perhatian pemerintah dalam hal pendidikan terutama dalam mempersiapkan bibit untuk pendidik generasi penerus bangsa sekaligus generasi pelurus bangsa. Harapan akhirnya, apa yang telah dicanangkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan sebuah Taman Siswa tidak sebatas waktu itu saja, akan tetapi roh dari Taman Siswa itu benar-benar terjaga sampai suatu saat nanti.

Taman Siswa yang didirikan oleh Raden Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara memiliki tujuh asas di mana ke tujuh asas ini sesuai dengan kepribadian bangsa. Adapun ketujuh asas ini yaitu (1) mengatur diri sendiri, (2) kemerdekaan batin, pikiran, dan tenaga bagi anak-anak, (3) kebudayaan sendiri, (4) pendidikan yang merakyat, (5) percaya pada kekuatan sendiri, (5) membelanjai diri sendiri, (6) keikhlasan dari para pendidikan dan pengajar dalam mendidik anak-anak.

Berdasarkan tujuh asas yang telah di keluarkan oleh Ki Hajar Dewantara itu, jika diadopsi secara penuh dan maksimal ke dalam pendidikan sekarang ini, kemungkinan pendidikan sekarang ini benar-benar sesuai dengan kepribadian bangsa kita pada asal mulanya. Pasalnya, pendidikan sekarang sedikit melenceng. Bisa kita saksikan dari asas keikhlasan para pendidik dan pengajar dalam mendidik anak. Semakin hari, tidak banyak pendidik yang ikhlas dalam mengajar, dia mengajar atas dasar sebuah bayaran. Bisa dikatakan ada uang, pengajaran jalan. Tidak ada uang, pengajaran berhenti. Kalau sampai nanti seperti ini, akan bagaimanakah pendidikan di Indonesia yang dahulunya telah bagus dalam mendidik anak bangsa. Akankah terus berubah menjadi pendidikan yang berdasarkan materialistis? Hal ini patut disayangkan, karena esensi pendidikat sekarang ini masih belum tepat dan perlu pembenahan lebih lanjut. Kalau kita mengok pada tujuh asas Taman Siswa yaitu pendidikan yang merakyat, sepertinya pendidikan sekarang ini tidaklah lagi merakyat. Hal ini dapat dibuktikan pada anak-anak yang tidak mempunyai biaya pendidikan yang cukup tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Apakah ini yang di namakan pendidikan yang merakyat. Pendidikan merakyat di sini bukan berarti biaya pendidikan yang biasa tetapi kualitas yang biasa, akan tetapi pendidikan yang sesuai dengan kondisikan masyarakat tanpa mengesampingkan kualitas out put pendidikan itu sendiri.

Dahulu kala, ketika M. Syafei, pendiri INS, menyadari bahwa sekolah yang didirikan Belanda jumlahnya banyak, akan tetapi pendirian sekolah tersebut hanyalah untuk kepentingan mereka belaka. Menurutnya, cara tradisional dalam menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan intelektualis semata, tidaklah sesuai dengan perkembangan jiwa anak Indonesia. Sistem itu hanya akan mendidik anak Indonesia menjadi robot pemerintahan Hindia Belanda yang melaksanakan kepentingan Belanda di Indonesia. Otak anak didik hanya diisi dengan bermacam-macam pengetahuan yang kegunaannya bagi kehidupan masyarakat Indonesia belum tentu manfaatnya.

Kita perlu dikoreksi lebih lanjut mengenai sistem pendidikan yang telah direncanakan oleh pemerintah. Apa esensi dari pendidikan itu sudah banyak bermanfaat bagi masyarakat atau tepat sasaran atau belum. Karena selama ini, ada beberapa orang yang tidak mengetahui untuk apa dia mempelajari ilmu tertentu dalam kurun waktu lama dan bagi kelangsungan hidupnya, ilmu itu tidak banyak bermanfaat bagi dirinya. Apa yang salah dia mempelajari ilmunya atau hanya atmosfer masyarakat yang belum terbangun untuk mengembangkan ilmu tersebut dalam masyarakat sehingga orang yang bersangkutan jadi merasa tidak dapat mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Apa hal ini juga ada pengaruhnya model pendidikan yang telah dibentuk oleh para penjajah di mana peserta didik harus patuh pada guru bukan guru yang membantu mengembangkan potensi siswa, tetapi lebih mendekte agar siswanya sesuai dengan keinginan gurunya.

Dewasa ini, semakin hari sistem pendidikan mulai diperbaiki. Baik itu dari sistem manajemen sumberdaya maupun kurikulum yang digunakan. Sistem manajemen meliputi proses dalam penjaringan calon pendidik yang akan mengajar dan mendidik anak bangsa. Sedangkah kurikulum, sejak awal kemerdekaan setiap beberapa periode telah direvisi esensi dari kurikulum yang ada.

Dilihat dari pengelolaan sumberdaya pendidik, pemerintah sebenarnya telah mempersiapkan dengan baik model penjaringannya atau dengan stimulus-stimulus tertentu agar pendidik mau meningkatkan skillnya dalam mengajar. Hal ini bertujuan demi berkembangnya pendidikan di Indonesia yang nantinya mampu bersaing atau menyetarai pendidikan yang telah maju di negera-negara maju di dunia.

Dilihat dari kurikulum yang berkembang selama ini, memang bagus, akan tetapi yang perlu diperhatikan lebih oleh pemerintah adalah bukan kualitas dari kurikulum itu sendiri, tetapi kualitas dari masing-masing guru untuk memanfaatkan kurikulum yang ada semaksimal mungkin. Seberapa bagus kualitas kurikulum dalam menunjang proses belajar mengajar jika tidak ditunjang kualitas sumber daya pendidik yang mumpuni. Kita mengetahui sendiri karakter bangsa Indonesia itu seperti apa. Karena dahulu kita lama dijajah oleh bangsa barat, secara tidak langsung pengaruh model pendidikan yang telah ditanamkan penjajah itu masih melekat sampai saat ini. Salah satunya mentalitas dalam pendidikan. Seakan kita dari dahulu dibentuk untuk turut dan turut dengan perintah. Jika itu tidak bisa dirubah, bangsa ini tidak akan bisa berkembang untuk menjejahkan pikirannya agar dapat menemukan penemuan-penemuan yang hebat.

Langkah-langkah yang selayaknya diambil pemerintah dalam upaya mengembalikan model pendidikan seperti yang telah digagas oleh Ki Hajar Dewantara dan M. Syafei yaitu pendidikan yang menekankan pada unsur nasional, budaya, dan agama adalah pertama, dalam masalah kurikulum, tidak sepantasnya kebijakan kurikulum selalu mengikuti perkembangan politik pemerintahan atau dalam artian kurikulum secara tidak langsung menjadi imbas dari kebijakan politik pemerintahan. Coba kita tengok pada sistem pendidikan di Pesantren Modern Darussalam atau lebih dikenal Pondok Gontor yang lembaga pusatnya berada di daerah Ponorogo. Dari awal berdirinya pondok itu, kurikulum tidak pernah dirubah, yang mereka rubah dan selalu ditingkatkan adalah bukan kurikulum pondok itu, melainkan kualitas dari pendidik yang ada di dalamnya. Sepertinya sistem pendidikan di negera ini mencontoh model pendidikan di pesantren itu. Model pendidikan di pesantren itu kental akan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Apabila bisa diterapkan model seperti itu, kemungkinan Indonesia akan menjadi negeri yang kokoh dan mandiri, bangga memiliki budaya yang beraneka ragam bukan sebaliknya yang bangga dengan hasil produk luar negeri. Masing-masing negera memang memiliki kekurangan dan kelebihan. Akan tetapi, jika bangsa ini mampu menghargai budaya sendiri, kemungkinan akan mempunyai nilai lebih yang tak akan tertandingi oleh negera lain dan negera lain pun akan menghormati negera kita; kedua, pemerintah selaknya mengambil sebuah kebijakan untuk menciptakan sebuah kurikulum yang mana kurikulum ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru serta memberikan wewenang penuh kurikulum untuk pembelajaran siswa kepada masing-masing pemerintah daerah. Hal ini bertujuan agar budaya-budaya setiap daerah bisa terangkat dan dapat tetap dilestarikan; ketiga, mengambil konsep pendidikan yang dikemukakan oleh M. Syafei yang meliputi: pemberian bahan pelajaran yang disesuiakan dengan situasi dan kondisi yang hidup dalam masyarakat Indonesia, disamping toeri yang mendasari ilmu pengetahuan tersebut, prakteknya diberikan dengan seimbang. Dengan demikian apabila tingkatan teori kurang tinggi dapat diimbangi oleh praktik yang baik; penghilangan verbalisme dalam pendidikan karena verbalisme dalam pendidikan akan menghasilkan manusia yang sempit alam pikirnya atau akan menghasilkan anak didik yang serba tanggung dalam menghadapi kehidupan di masyarakat. Verbalisme dalam pendidikan menghasilkan anak ibarat orang membuat kue, bagaimana bentuk cetakannya begitulah bentuk kuenya; keempat, mencanangan sebuah prinsip pendidikan “Belajar, Bekerja, dan Berbuat” dan menekankan aspek proses belajar dalam evaluasi pendidikan bukan semata-mata hasil yang bagus.

Dengan demikian, kita sebagai seorang calon orang tua, selayaknya mempunyai dasar-dasar bagaimana mendidik anak turun untuk menjadi sosok yang berguna bagi nusa dan bangsa dengan menerapkan pola berpikirnya Ki Hajar Dewantara dan M Syafei. Adapun caranya meliputi: (1) berusaha mendidik dan membimbing anak untuk bekerja secara mandiri dalam berbagai konteks, (2) menanamkan pada diri anak bahwa kemandirian adalah suatu hal yang sangat penting yang nantinya akan sangat bermanfaat ketika ia sudah dewasa dan terjun ke dalam kehidupan masyarakat yang bebas, (3) menanamkan rasa nasionalisme melalui kepedulian terhadap kondisi negara yang sedang dialami, dan (4) menanamkan pola hidup yang seimbang di mana pola ini bertujuan untuk mengajarkan bahwa semua kehidupan harus berjalan seimbang, tidak bisa berat sebelah, seperti halnya pentingnya keseimbangan intelektual agama dan intelektual akademis, dan masih banyak yang lainnnya. Semua ini mempunyai maksud akhir yang sama yaitu membentuk karakter anak banga sekaligus menjaga nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun