Secara etiomologis, ada pendapat yang mengatakan kata pajak berasal dari bahasa Jawa, ajeg. Pada masa kolonial, pemerintah menarik pajak tanah setiap tahunnya dengan jumlah tetap  (ajeg). Seiring berjalannya waktu, kata ajeg bergeser pengucapannya menjadi pajeg yang kemudian diserap oleh bahasa indonesia menjadi pajak.  Pendapat lain mengatakan pajak berasal dari bahasa Belanda pacht, yang berarti sewa tanah yang harus dibayar penduduk.
Dari semua asal-usul pajak, yang jelas tidak semua kata dalam suatu bahasa mempunyai padanaan yang 100 persen akurat dalam bahasa lain.
Pajak adalah produk politik, salah satu bentuk interaksi antara negara dengan warganya. Sistem politik pada negara Islam awal yang dipraktikkan Nabi (dan para khalifah setelahnya), tak akan pernah ditemukan yang sama persis pada negara manapun zaman sekarang ini. Karena itu, jika pajak hanya diterjemahkan secara dzahiriyah, tentu tak akan pernah ditemukan pada masa Nabi.
adz-Dzahabi dalam al-Kabair dengan komentarnya,
Pemungut pajak adalah salah satu pendukung tindak kezhaliman, bahkan dia merupakan kezhaliman itu sendiri, karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak. (Sumber: https://muslim.or.id/6283-pajak-dalam-islam.html)
Adapun penetapan pajak disamping pajak, apabila ditemukan tidak ditemukan sumber keuangan untuk memenuhi suatu kebutuhan negara kecuali dengan adanya penetapan pajak, maka boleh memungut pajak bahkan hal itu menjadi wajib dengan syarat kas Bait al-Maal (kas negara) kosong, dialokasikan dan didistribusikan dengan benar dan adil sebagaimana Umar Ibn al-Khaththab radiallahu 'anhu mendukung hal tersebut.
Mengutip pernyataan Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. yaitu:
"La yadkhulul jannata shahibu maks. Tidak akan masuk surga orang yang menarik pajak dan bea cukai. Antum mau masuk surga atau tidak? Diriwayatkan oleh Abu Daud dan disahihkan oleh banyak para ulama. Kalau Anda ingin masuk surga, resign"
Selain itu kalau kita bicara umum, global, dan pendapat jumhur ulama, sebenarnya pajak itu tidak ada dalam Islam. Tidak ada sama sekali dan tidak boleh negara hidup dari pajak, Ia mengibaratkan pajak sebagai perampokan yang dilakukan oleh negara terhadap hasil jerih payah masyarakat"
Pendapat tersebut terdengar begitu familiar dengan pendapat pakar ekonom liberal seperti Robert Nozick. Nozick menyamakan pajak dengan perampokan jam kerja warga negara. Dalam uang yang dimiliki oleh warga negara, terkandung curahan tenaga yang dikeluarkan dalam proses kerja dan negara yang mengambil uang dari warga negara yang berpunya dalam bentuk pajak, sama halnya sedang memaksa warga negara tersebut bekerja demi tujuan selain yang dikehendakinya: melayani kalangan berkekurangan.
Berdasarkan pembahasan diatas dengan didasari dalil shahih, maka penulis menyimpulkan bahwa Islam membolehkan penghindaraan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak disuatu negara dengan dalil-dali tersebut demi melawan kezaliman yang menimpa dirinya atas pengenaan pajak terhadap jerih payahnya, selama yang dilakukan oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku atau kata lainnya mengambil celah yang legal dari suatu peraturan yang berlaku.