Malam itu angin pantai berhembus perlahan, lelaki gimbal duduk sambil memandang indahnya rembulan. Ada sesuatu yang dirindukannya. Sesekali ia menangis. Ombak pantai menyapu kaki, dingin sedingin perasaannya saat itu. _Tanpa dirimu dekat di mataku, aku bagaikan ikan tanpa air. Tanpa dirimu ada di sisiku, aku bagai hiu tanpa taring. Tanpa dirimu dekap dipelukku, aku bagaikan pantai tanpa lautan_. Tak terasa malam kian larut dan pagi menjelang.Â
Kepala terasa pusing, mata sembab dan memerah, rambut gimbalnya kian kusut. Tanpa semangat diraih sisa arak semalam, diteguknya untuk menghilangkan kerinduan. Sisanya kemudian diletakkan kembali di atas meja. Perlahan ia coba bangkit keluar kamar sementara matahari mulai meninggi. Terik membuatnya kembali merebahkan diri.Â
Suasana duka kian menyelimutinya manakala menyapu pinggir Anyer yang kotor dan porak-poranda. Ia tak tahu harus mencari kemana lagi tambatan hatinya. Sedih tak terkira. Tatapannya kosong. Kisah pilu malam itu kembali hadir memenuhi isi kepalanya. Pada malam yang gelap itu, begitu tsunami menyapu pesisir pantai Anyer, si gimbal menyadari dirinya takkan lagi berjumpa si dia yang entah terbawa pusaran air kemana. "Mayat perempuan ... mayat perempuan," teriakan seseorang mengagetkannya dan bergegas mengikuti arah suara itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H