Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun 2024 disusun untuk mengatur mekanisme kampanye dalam Pemilihan Umum (Pemilu) guna menciptakan pemilu yang jujur, adil, dan transparan. Namun, dalam perjalanannya, sejumlah pasal dalam regulasi tersebut memunculkan permasalahan yang berkaitan dengan inkonsistensi aturan dan multitafsir.
Inkonsistensi dan multitafsir ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat disalahgunakan oleh peserta pemilu untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil. Artikel ini akan membahas kritik terhadap pasal-pasal dalam PKPU No. 13 Tahun 2024 yang dianggap bertentangan dan multitafsir, serta dampaknya terhadap pelaksanaan kampanye Pemilu 2024.
Eloknya kita mulai dari Pasal 1 Ayat 12 PKPU No. 13 Tahun 2024 mendefinisikan kampanye sebagai "kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri."Â
Meski terlihat mencakup berbagai aspek kampanye, definisi ini cenderung multitafsir karena tidak memberikan batasan yang jelas antara kegiatan kampanye dan kegiatan sosialisasi.
Tidak adanya batasan tegas antara kampanye dan sosialisasi menimbulkan dilema, terutama saat peserta pemilu melakukan kegiatan di luar jadwal kampanye yang resmi. Dalam banyak kasus, peserta pemilu, terutama calon petahana atau calon yang memiliki sumber daya lebih besar, dapat mengklaim bahwa kegiatan mereka adalah bentuk sosialisasi, bukan kampanye.Â
Kerancuan ini mengakibatkan celah bagi terjadinya kampanye terselubung, yang tidak diatur secara ketat oleh regulasi, sehingga merugikan kandidat lain yang mematuhi aturan. Dalam konteks ini, perbedaan antara kampanye dan sosialisasi perlu diperjelas untuk mencegah multitafsir yang dapat merusak integritas pemilu.
Selanjutnya yang juga masih mengandung kejanggalan adalah Pasal 43 PKPU No. 13 Tahun 2024 yang mengatur kewajiban peserta pemilu untuk melaporkan akun media sosial yang akan digunakan selama masa kampanye. Tujuan aturan ini adalah untuk memudahkan pengawasan terhadap aktivitas kampanye di media sosial dan meminimalkan penyebaran hoaks atau kampanye negatif. Namun, pasal ini menimbulkan multitafsir terkait bagaimana pengawasan terhadap akun-akun yang tidak terdaftar.
Tidak adanya kejelasan tentang apakah akun-akun tidak resmi, seperti akun pendukung, simpatisan, atau akun anonim yang mengkampanyekan kandidat, termasuk dalam pengawasan, menciptakan celah untuk terjadinya pelanggaran.
 Akun-akun ini bisa saja digunakan untuk melakukan kampanye hitam, penyebaran disinformasi, atau menyebarkan konten yang mendiskreditkan lawan politik tanpa dikenakan sanksi karena tidak terdaftar secara resmi. Dengan demikian, multitafsir dalam pengawasan akun media sosial melemahkan upaya untuk menjaga keadilan dan kejujuran dalam kampanye digital, yang kian dominan di era modern.
Tidak hanya kedua pasal diatas, pasal 33 PKPU No. 13 Tahun 2024 menurut hemat penulis juga terlalu realistis dan menimbulkan Keambiguan pengawasan, dimana pasal ini mengatur tentang pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka, yang menyebutkan bahwa pertemuan tersebut harus dilaksanakan di tempat tertutup dan terbatas.