"Oleh sebab itu, Gus Dur merupakan Bapak Pluralisme yang telah memberikan inspirasi bagi kita semua. Namun sebagai sosok manusia biasa, Gus Dur tidak luput dari khilaf dan kekurangan," ucap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat upacara pemakaman Presiden keempat, Abdurrahman Wahid atau biasa dipanggil Gus Dur. Penyebutan tersebut menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak.
Membaca, mendengar kata-kata tersebut masih menyisakan kenangan terhadap sosok pemimipin yang selalu meninggalkan kontroversi, Abdurrahman Wahid. Kini, canda tawa beliau tak lagi menghangatkan ranah perpolitikan di Indonesia (bahkan di dunia internasional) yang mudah memanas ini. Sehari menjelang tahun baru 2010, beliau menghembuskan nafas terakhir pada usia ke-69. Dan dikebumikan di kampung halamannya, Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang Jawa Timur.
Ketika menginjakkan kaki ke area pondok yang juga tempat pemakaman Gus Dur, hawa religius sangat kental terasa. Walaupun telah dua bulan semenjak meninggalnya cucu menteri agama pertama tersebut, masih banyak pengunjung yang menadahkan tangan, memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk beliau. Dengan melimpahnya pengunjung yang datang, banyak pedagang bahkan pengemis yang kecipratan rejeki.
Banyak sekali orang yang yang rela berpanas-panasan, menempuh kiloan meter hanya demi mengunjungi sebuah makam. Kenapa?. Banyak diantara mereka beralasan ingin menghormati orang yang pernah mempersatukan negara kita, memperjuangkan perlindungan terhadap kaum minoritas dan kebebasan beragama. Bapak pluralisme, begitu mereka menyebut. Tapi, sekarang banyak sekali kontroversi yang terjadi akibat penyebutan yang disebutkan pertama kali oleh SBY pada upacara pemakaman Gus Dur.
Secara harfiah plural berarti majemuk dan secara sederhana pluralisme adalah ajaran yang menghargai dan menghormati kemajemukan atau perbedaan dalam masalah agama, suku, ras, dan budaya. Tapi, banyak yang memprotes penyebutan itu, termasuk MUI bahkan mengatakan bahwa SBY telah melecehkan Gus Dur. Mereka menilai bahwa pluralitas haram. pluralisme adalah faham pencampuradukan beberapa ajaran agama sehingga sangat berbahaya terhadap kehidupan beragama di Indonesia. Semua agama itu sama. Tentu hal ini sangat ditolak oleh MUI. Penolakan MUI itu cukup beralasan, Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan Fatwa nomor:7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dalam Pandangan Islam.
Dalam fatwa yang ditetapkan di Jakarta tanggal 22 Jumadil Akhir 1426 H (29 Juli 2005 M) tersebut, MUI menfatwakan Pluralisme sebagai berikut : Pertama, Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga. Kedua, Ketentuan Hukum. Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukan aqidah dan ibadah umat islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
Dalam fatwa haramnya pluralisme tersebut, MUI mendasarkan hujjahnya terhadap beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain: surat Ali Imran 19, 85, Al-Kafirun 6, Al-Ahzab 36, Al-Mumtahinah 8-9, Al-Qashash 77, Al-An’am 116, dan Al-Mu’minun 71.Khawatir penyebutan ini, menimbulkan kesalahan persepsi, bahwa Gus Dur berfaham haram, dengan menyamakan setiap agama.
Dilain pihak, banyak juga yang mengatakan bahwa penyebutan Bapak Pluralisme itu benar adanya. Karena, mereka menganggap, pendiri The Wahid Institute itu memperjuangkan perlindungan terhadap kaum minoritas dan kebebasan beragama, menyatukan berbagai perbedaan suku, ras,dan agama. Bukan menyamakan, atau berusaha menyamakan, melainkan mempersatukan. Kebenaran yang meninggalkan persatuan akan menghadirkan ‘penindasan’ dan sebaliknya persatuan yang menghormati perbedaan akan menghadirkan pencerahan, puncaknya kebenaran. Sosok pluralis tersebut membuktikannya dengan penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993). Beliau pun sebelumnya telah membuat buku berjudul,’Islamku,  Islam Anda,  Islam Kita’. Pluralisme dan Pembelaan adalah dua kata kunci dalam kumpulan tulisan Abdurrahman Wahid ini. Tulisan berangkat dari perspektif korban, terutama minoritas agama, gender, keyakinan, etnis, warna kulit, posisi sosial.
‘Tuhan tidak perlu dibela,’ kata Gus Dur dalam bukunya,
bukan berarti bahwa kita tidak boleh membela Nya, karena hanya dengan "kun fayakun" Allah bisa melakukan apapun untuk membela agama Nya. Tetapi justru karena kita yang butuh membelaNya untuk menunjukkan bahwa kita lah yang membutuhkan Dia. Wimar Witoelar, juru bicara beliau mengatakan bahwa beliau sebetulnya juga adalah bapak plularisme dunia, mengingat bahwa dunia kini kekurangan tokoh pluralisme dan bahkan didominasi oleh pemimpin ‘eksklusif’ dari semua pihak. Gus Dur, sebagai penentang ‘eksklusivitas’, berani memperjuangkan golongan minoritas,mengambil keputusan-keputusan sulit dan tidak taktis, walaupun terkadang merugikan diri sendiri. Bahkan tak segan-segan, beliau menyentil ‘kaumnya’ sendiri demi menghargai ‘kaum’ lain. Itulah keberanian yang terkadang merugikan diri sendiri. Dalam perjuangan penegakan HAM, anti kekerasan, antidiskriminasi, dan perlindungan terhadap kaum minoritas, selain Gus Dur masih banyak tokoh lain, sehingga mencari penggantinya tidak terlalu sulit. Tetapi, untuk perjuangan bagi perlindungan terhadap kaum minoritas dan kebebasan beragama, peran Gus Dur masih teramat kuat. Bahkan saat tak berada di dunia ini lagi, beliau masih membuktikan ‘bapak pluralisme’nya. Kalau tokoh-tokoh lain wafat, yang berduka hanyalah ‘kaumnya’, tetapi, saat Gus Dur tiada, kaumnya, kaum-kaum lain, dan semua kaum berduka cita melihat mantan ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia tahun 1994 itu takkan pernah menyumbangkan perdamaian di dunia lagi.