“Dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan)” Frankfurt School
Pilkada serentak masih jauh, namun aura politik yang mengiringi proses suksesi kekuasaan auranya sudah mulai terasa. Partai politik mulai melirik calon-calon yang nantinya dipinang menjadi kandidat untuk maju digelanggang politik untuk bertarung berebut kursi kekuasaan. Hiruk-pikuk politik menjelang pilkada serentak dimulai dari kisah Jakarta. Tak seperti daerah lainnya, suhu politik di Jakarta jelang Pilkada sungguh sangat panas. Calon-calon terbaik dari daerah lain juga ikut terlibat dalam penjaringan calon Gubenur Jakarta, bahkan tokoh-tokoh nasional juga tak mau ketinggalan.
Yusril Ihza Mahendra, Sandiago Uno, Ahmad Dhani, Haji Lulung, adalah sederet nama yang santer diberitakan media massa akan maju menjadi calon yang nantinya ikut berlaga dalam pilkada jakarta untuk merebut kursi Gubenur. Atas fenomena itu, menjadi bukti bahwa pilkada yang nantinya digelar akan menjadi arena tarung politik yang sesungguhnya oleh para politikus. Jamak diketahui publik, politik pencitraan jelang pilkada juga sudah dimulai oleh para calon kandidat untuk menarik simpatisan masyarakat,memainkan isu-isu kesejahteraan, pendidikan dan isu SARA turut mewarnai agenda menjelang pesta demokrasi untuk mencari penguasa lokal.
[caption caption="jogjaindependent"][/caption]Munculnya Gerakan Anti Partai
Di tengah partai politik menjaring para calon kandidat yang nantinya akan ikut bertarung di medan pilkada, di masyarakat kita, secara beriringan lahir gerakan yang mengusung calon independent yang tak lain respon mereka atas mosi tidak percaya atas partai politik bisa menghadirkan calon yang nantinya bisa memberikan kesejahteraan bagi mereka. Di jakarta, bisa kita saksikan ada sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan Teman Ahok yang dengan suka rela mendukung Gubenur Basuki Cahya Purnama untuk maju lagi menjadi Gubenur Jakarta dengan suka rela.
Seperti efek domino, geraka anti partai politik juga muncul di Jogjakarta, dengan mana Jogja Independent. Bahkan di Jogja gerakan warga ini banyak dimotori oleh para aktifis dan para seniman. Dua fenomina ini sangat jelas arahnya memberikan kritik atas partai politik yang selama ini banyak kadernya terjerebab dalam lubang kasus korupsi mulai dari yang remeh- temeh hingga level atas, padahal partai politik yang digadang-gadang menjadi pilar demokrasi diharapkan bisa memberikan citra yang bagus bagi perjalanan Bangsa Indonesia.
Ongkos Demokrasi yang Mahal
[caption caption="pilkadaserentak"]
Pastinya para pemiliki modal itu tidak serta merta menyumbangkan hartanya dengan tanpa meminta balas budi nanti dikemudian hari. Pendek kata, mereka pastinya akan meminta tender-tender dari calon yang bersangkutan jika nantinya menang dalam pilkada. Proses kebijakan yang yang dikeluarkan oleh pemerintah akhirnya tersandera oleh kepentingan pemilik modal, kepentingan publik yang seharunya menjadi rujukan pertama harus digadaikan.
Terkait dengan gejala politik transaksional semacam ini memang sudah lama menjadi kajian para para pemikir Frankfurt School yang lazimnya berasal dari kalangan Marxisme. Adalah dunia politik merupakan arena transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Maka, dengan adanya calon independent yang kini bermunculan, setidaknya menjadi solusi nyata untuk menghadirkan calon penguasa lokal yang terbebas dari sandera kepentingan pemilik modal dan politik karena ongkos untuk meraih kursi kekuasaan dilakukan secara suka rela.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H