Mohon tunggu...
Mahmud Abas
Mahmud Abas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Abur Rizal Bakrie Harus Mundur, Harus Legowo. Anda Setuju dengan Pendapat Saya?

14 Mei 2015   08:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:04 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14315650951408622164

Seorang bijak pernah berkata, pemimpin yang baik adalah orang yang tak hanya bertanggungjawab terhadap rakyatnya, tapi juga diri sendiri. Adagium itu belum berhenti. Pada terusannya, ia berujar, "Jikalau seorang pemimpin tak bisa memimpin dirinya sendiri, cukuplah ia hanya sekadar pesuruh yang melayani kepentingan tuannya."

Apa yang dikatakan seorang bijak ini tampaknya menjadi kritik tajam bagi kita, di mana memilih seorang pemimpin tak bisa hanya dipilih dari karisma dan popularitas saja, tapi juga menempatkan latar belakang orang tersebut, terutama terkait tanggung jawab.Karena kesalahan memilih, kita acap dipertemukan pemimpin yang hanya sekadar pesuruh majikannya. Kalau ditarik, arti bertanggungjawab terhadap diri sendiri bisa jadi benar dalam konteks ini.

Aburizal Bakrie, misalnya. Bertahun-tahun dipercaya memimpin Golkar, di tengah tanggung jawab pribadi yang tak kunjung tuntas: semburan lumpur Lapindo dan utang pajak sejumlah perusahaan, lantas tak membuat partai beringin itu dapat mengambil hal positif.

Saat berbincang dengan seorang teman yang menjadi kader Golkar saat Ical, Aburizal biasa disapa, menjadi ketua umum, beban finansial harus dirasakan para anggota partai. Hal sederhana yakni pembuatan kartu anggota partai. Proyeknya bahkan menjadi proyek Ical di Golkar. Belum lagi sejumlah alat tulis dan peraga kampanye yang jika dihitung nilainya lebih dari Rp 2 miliar.

Di pemerintahan, Golkar justru meninggalkan apa yang telah dimiliki jauh sebelumnya: harga diri sebagai partai tua yang memiliki sumbangsih besar terhadap perkembangan negara.

Sayang, jati diri ini justru ditanggalkan Ical. Ia lebih memilih melacur, atas nama partai, demi kepentingan pribadi. Beruntung, ketika Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla menjabat sebgai presiden dan wakil presiden, ada beberapa jasa Ical yang dapat dijadikan politik balas budi.

Bahkan, jasa Ical konon melebihi dukungan keuangan milik Surya Paloh terhadap kegiatan kampanye SBY-JK. Jabatan prestisius pun diperolebh Ical. Pun juga dengan bantuan talangan pemerintah untuk membayarkan utang Lapindo Brantas terhadap masyarakat Sidoarjo, imbas terjangan lumpur.

Tapi, apa yang diperoleh Golkar? Jawabnnya tak ada. Sebab, Golkar hanya dijadikan kendaraan politik Ical demi memuaskan kepentingan pribadi. Ketika hubungan tak harmonis dengan SBY, Ical ditinggalkan. Ical gamang. Ia tak lagi memiliki kemampuan finansial guna menutupi tumpukan utang yang semakin menggunung. Respons SBY meninggalkan Ical merupakan hal wajar. SBY merasa tak ingin terus melayani hasrat Ical dan menjadikan anggaran negara sebagai wadah bancakan.

Selain itu, SBY sadar kalau Ical bukanlah siapa-siapa. Tak heran, SBY lebih memilih dan mendukung Sri Mulyani untuk membuka sejumlah saham walau perusahaan Ical yang menjadi taruhan: kemudian bangkrut.

Kini, Ical sendiri di tengah tumpukan tanggung jawab yang harus diselesaikan. Kondisi ini harus dibaca secara serius oleh seluruh kader Golkar. Sederhananya, coba direfleksikan apa yang diperoleh Golkar saat Ical menjabat sebagai ketua umum?

Di sepanjang sejarah pemerintahan, apakah pernah kader Golkar tak menjadi bagian dari kementerian? Rekor ini dijawab Golkar saat dipegang Ical bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun