Kinerja Badan Gizi Nasional kembali menjadi sorotan setelah sejumlah kelemahan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) terungkap. Terbaru, Kepala Badan Gizi Nasional mengusulkan ulat dan serangga sebagai alternatif sumber protein hewani di daerah-daerah tertentu. Gagasan ini langsung memunculkan reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Di satu sisi, usulan ini sejalan dengan Perpres No. 81 Tahun 2024 yang mendorong percepatan penganekaragaman pangan melalui optimalisasi pangan lokal. Namun, di sisi lain, muncul sejumlah pertanyaan mengenai kelayakan dan potensi risiko untuk produksi massal, seperti resiko alergi serta tantangan budaya. Meskipun dirancang untuk wilayah tertentu, perlu kajian mendalam apakah ulat dan serangga benar-benar dapat menjadi solusi pangan masa depan, atau sebaliknya menambah masalah baru bagi masyarakat?
Potensi yang Menggiurkan, Tapi Berisiko
Sejak 2013, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah menegaskan serangga sebagai salah satu solusi pangan masa depan. Alasannya jelas: serangga menawarkan kombinasi antara nilai gizi tinggi dan keberlanjutan lingkungan. Ulat sagu, misalnya, mengandung hingga 60% protein, angka yang jauh melampaui kandungan protein daging sapi, yang rata-rata sekitar 26% per 100 gram. Selain itu, serangga kaya akan asam lemak esensial dan zat besi, dua komponen penting untuk mendukung kesehatan manusia. Dari perspektif keberlanjutan, serangga memiliki keunggulan besar. Produksinya membutuhkan lebih sedikit air, lahan, dan sumber daya dibandingkan peternakan hewan besar. Selain itu, jejak karbon dari budidaya serangga jauh lebih rendah, menjadikannya alternatif menarik di tengah tantangan perubahan iklim dan menipisnya sumber daya alam.
Namun, tidak semua aspek serangga sebagai sumber pangan ideal. Risiko kesehatan, terutama alergi, menjadi perhatian utama. Penelitian Ribeiro (2020) menunjukkan bahwa protein dalam serangga, termasuk ulat dan belalang, dapat memicu reaksi alergi serius, mulai dari gatal-gatal hingga anafilaksis pada individu dengan sensitivitas tertentu. Sementara itu, studi Grudy (2024) menegaskan bahwa meskipun serangga menjanjikan sebagai sumber protein alternatif, potensi risiko kesehatan harus menjadi pertimbangan penting dalam regulasi pangan. Regulasi pangan berbasis serangga juga memerlukan perhatian serius. Uni Eropa, misalnya, telah menggolongkan serangga sebagai novel food yang harus melalui uji keamanan ketat sebelum dipasarkan. European Food Safety Authority (EFSA) secara aktif melakukan analisis risiko untuk memastikan keamanan konsumsi serangga. Sementara di Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan memang mengatur produksi dan distribusi pangan secara umum, tetapi belum secara spesifik mencakup serangga atau ulat sebagai komoditas pangan.
Tantangan lain yang akan dihadapi adalah terkait keberlanjutan lingkungan yang perlu diperhatikan. Produksi massal serangga dan ulat, meskipun lebih efisien dalam penggunaan sumber daya seperti air dan pakan, tetap memerlukan ruang dan energi untuk membudidaya serta memprosesnya menjadi bahan makanan. Selain itu, pengelolaan limbah dan dampak ekosistem dari budidaya serangga dan ulat harus dipertimbangkan dengan cermat untuk memastikan bahwa praktik ini tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, seperti perubahan habitat alami atau pencemaran. Mengubah lahan pertanian menjadi tempat pembudidayaan secara masal yang mengurangi keanekaragaman hayati atau menghasilkan limbah organik yang mencemari tanah dan air sekitar. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan sistem produksi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan agar potensi sumber protein ini dapat dimanfaatkan tanpa mengorbankan keseimbangan ekosistem.
Antara Tradisi dan Realitas
Meskipun serangga dan ulat sudah menjadi bagian dari makanan tradisional di beberapa daerah di Indonesia, seperti belalang goreng di Jawa atau ulat sagu di Papua, mengadopsi ide ini secara massal bukanlah hal yang mudah. Di banyak tempat, konsumsi serangga masih dianggap tabu dan tidak sesuai dengan norma budaya. Banyak orang Indonesia yang melihat ulat dan serangga sebagai "makanan asing" yang tidak lazim untuk dikonsumsi. Selain tantangan budaya, regulasi yang mengatur pangan berbasis serangga juga masih sangat minim dan perlu mendapatkan perhatian serius. Penerimaan masyarakat terhadap konsumsi serangga akan sangat bergantung pada pendekatan yang digunakan dalam penyajian dan edukasi. Mengolah serangga menjadi produk yang lebih diterima, seperti tepung ulat dan serangga untuk biskuit atau produk lainnya, adalah langkah yang bisa dilakukan. Namun, tantangan terbesar bukan hanya terletak pada penerimaan rasa, tetapi juga pada jaminan keamanan produk. Serangga yang dikonsumsi harus dipastikan bebas dari kontaminasi, baik kimiawi maupun mikrobiologis.
Edukasi yang menyeluruh dan distribusi informasi yang luas kepada masyarakat menjadi hal yang penting. Masyarakat perlu memahami manfaat gizi dari konsumsi serangga, serta cara-cara pengolahan yang aman. Tanpa pemahaman yang cukup, pandangan negatif terhadap makanan berbasis serangga akan terus menghalangi penerimaannya. Namun, kita juga harus mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial dari pengembangan industri pangan berbasis serangga. Industri ini berpotensi memberikan keuntungan ekonomi, terutama di daerah-daerah pedesaan. Tetapi jika dikelola dengan buruk, eksploitasi serangga liar dapat mengganggu keseimbangan ekosistem, serta berisiko terhadap keberlanjutan sumber daya alam. Lebih jauh lagi, penyalahgunaan produk yang tidak memenuhi standar dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap keamanan pangan berbasis serangga.
Meskipun potensi konsumsi ulat dan serangga sebagai sumber protein alternatif sangat besar, baik dari segi gizi maupun keberlanjutan lingkungan, penerapannya di Indonesia menghadapi banyak hambatan. Selain masalah penerimaan budaya yang masih dipenuhi stigma, ada juga tantangan terkait risiko alergi, keamanan pangan, dan regulasi yang belum memadai. Sebelum ide ini diterima secara luas, Indonesia harus segera merumuskan peraturan yang jelas, memperkuat sistem edukasi kepada masyarakat, serta memperbanyak riset untuk memastikan bahwa pangan berbasis ulat dan serangga aman dan layak dikonsumsi. Tanpa langkah-langkah ini, alih-alih menjadi solusi, ide ini justru berpotensi menambah masalah baru dalam sektor pangan Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI