Pertama saya ucapkan selamat Hari Raya Imlek Gong Xi Fat Choi kepada saudara Tionghoa yang merayakan semoga keluarga semakin lancar jaya. Kemudian saya secara pribadi mohon maaf ingin menanyakan perlukah Imlek dirayakan secara besar besaran. Sebagai perbandingan dengan luar negeri. Indonesia adalah satu satunya negara minoritas Tionghoa yang ada libur nasional Imlek dan perayaan Imlek besar besaran secara nasional. Di negara minoritas Tionghoa lain seperti AS, Amerika Latin, Eropa, Turki, Rusia, Arab, India, Jepang, Afrika dan Australia tidak ada libur nasional Imlek dan perayaan Imlek dirayakan dalam komunitas terbatas yaitu Chinatown di negara itu.
Meski terkadang juga mengundang warga mayoritas untuk ikut merayakan. Di negara minoritas Tionghoa lain seperti Malaysia ada libur nasional Imlek tetapi perayaan Imlek hanya dilakukan komunitas Tionghoa. Pribumi Melayu setempat tidak terlalu antusias mengikuti perayaan Imlek. Bahkan jaringan bisnis internasional dari AS, Eropa dan Jepang seperti restoran atau fashion shop juga tidak mengangkat tema Imlek di tokonya.
Kalau misalkan perayaan Imlek di Indonesia untuk pluralitas mengangkat kaum minoritas bukankah yang minoritas ada dari Aceh, Melayu, Batak, Betawi, Dayak, Toraja, NTT, Maluku, Papua dll yang belum diangkat budayanya. Ada kecenderungan gerakan pluralitas berjalan secara sempit hanya mengarah ke golongan tertentu. Ada pendapat bahwa perayaan Imlek secara besar besaran di Indonesia karena ada pandangan bahwa orang Tionghoa identik orang kaya sehingga diangkat budayanya. Tetapi orang pribumi sendiri juga banyak yang kaya.
Orang Tionghoa kaya berasal dari swasta besar terutama perbankan, pabrik pengolahan, otomotif, properti dan retail. Orang kaya pribumi terutama Jawa juga banyak dari PNS, BUMN, TNI Polri, dokter negeri, politisi. Orang pribumi kaya dari Jawa juga berasal dari pengusaha menengah di pertanian, peternakan, perikanan, koperasi, BPR, SPBU, kayu dan ukiran, kerajinan. Orang pribumi kaya dari Sumatera biasanya di masakan Padang, tekstil dan percetakan. Orang pribumi kaya dari Sulawesi biasanya dari perkebunan, transportasi dan perdagangan. Simpanan perbankan di BUMN sudah mencapai 60% dari total dana 10 besar bank terbesar. Penabung bank BUMN biasanya dari kalangan pribumi kaya PNS, BUMN, TNI Polri, dokter dan pengusaha menengah.
Sebagai perbandingan jumlah orang Tionghoa Indonesia diperkirakan ada 9 Juta orang dan mayoritas 77% atau 7 Juta orang berada di luar Jawa. Yaitu 3,5 Juta orang di Sumatera, 2 Juta orang di Indonesia Timur dan 1,5 Juta orang di Kalimantan. Hanya 2 Juta orang Tionghoa yang berada di Jawa yaitu 900 Ribu orang di Jateng-DIY-Jatim, 550 Ribu orang di Jakarta dan 550.000 orang di Jabar-Banten. Perekonomian Indonesia 60% di Jawa, 23% di Sumatera, 9% di Indonesia Timur dan 8% di Kalimantan.
Di luar Jawa masih banyak orang Tionghoa yang hidup biasa sebagai petani, nelayan dan pengusaha mikro. Bahkan di Jawa pun banyak orang Tionghoa biasa yang bekerja sebagai staf swasta atau pedagang kecil. Misalkan di Jakarta komposisi orang Tionghoa : 30% di Jakut, 30% di Jakbar, 20% Jaktim, 10% di Jakpus dan 10% di Jaksel. Sementara distribusi mobil, simpanan perbankan dan gedung tinggi di Jakarta : 40% di Jaksel, 30% di Jakpus, 13% di Jakbar, 10% di Jakut dan 7% di Jaktim. Bahkan wilayah Jaksel dimenangkan Prabowo 52% saat pilpres 2014 sama dengan Jaktim yang juga dimenangkan Prabowo. Karena di wilayah Jaktim banyak orang Betawi yang mendukung Prabowo.
Bagaimana dengan Jaksel yang 50% penduduknya dari Jawa harusnya dimenangkan Jokowi. Wilayah Jaksel adalah wilayah paling Njawani di Jakarta. Dimana persentase orang Jawa secara total hanya 35% di Jakarta dan tetapi mencapai 50% di Jaksel. Ada dugaan banyak orang Jawa di Jaksel dominan keluarga kaya dari PNS, BUMN, dokter negeri dan pengusaha menengah yang lebih Islami dan menyukai Prabowo. Dibandingkan orang Jawa miskin dari petani, nelayan dan buruh yang agak abangan lebih memilih Jokowi. Orang Jawa kaya juga mendominasi perumahan mewah di Semarang Selatan, Semarang Timur, Surabaya Selatan dan Surabaya Timur. Orang Tionghoa kaya di perumahan Semarang Utara dan Surabaya Barat. Harusnya orang Jawa kaya juga dipromosikan agar mereka ikut membeli barang karena dikhawatirkan ekonomi kurang berkembang karena yang mau membeli barang hanya golongan tertentu. Persepsi orang Tionghoa identik orang kaya justru merugikan orang Tionghoa karena mereka menjadi sasaran pajak yang sangat tinggi. Banyak orang Tionghoa biasa mengeluh pajaknya terlalu tinggi dimana omsetnya semakin turun. Di kantor pajak banyak ditemui orang Tionghoa yang naik sepeda motor atau mobil murah harus membayar pajak tinggi untuk menggaji PNS yang mobilnya lebih mahal.
Akhir kata sudah seharusnya kita mengubah cara pandang kita tentang makna dari pluralitas. Kalau ada kesalahan kata mohon dimaafkan. Gong Xi Fat Choi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H