Sabtu pagi, 19 Desember 2015, di Sragen Jawa Tengah telah terjadi bentrokan yang melibatkan dua kelompok Suporter yaitu Aligator Mania (pendukung Surabaya United) dan Aremania. Bentrokan ini mengakibatkan 2 Aremania tewas. Sebagai manusia, kita tentunya berduka.
Memang saat ini Aremania menjadi korban, namun mereka juga pernah menjadi pelaku. Semua Kelompok Suporter yang terlibat dalam rivalitas berpotensi menjadi pelaku atau korban.
Tragedi ini bukan peristiwa pertama yang pernah terjadi. Sudah banyak korban yang jatuh atas nama Rivalitas Suporter.
Beberapa tahun terakhir saja, tercatat beberapa kali suporter/masyarakat umum meregang nyawa akibat perilaku vandal. Tercatat, Alm. Rangga Cipta Nugraha suporter Persib Bandung tewas di GBK, Alm. Eric Setiawan seorang anak di bawah umur yang kebetulan memakai kaos Bonek tewas karena perilaku bar-bar Aremania di Gresik, Alm. Kunto Prio Prabowo yang meninggal di Sidoarjo, Alm. Suparman, seorang tukang tambal ban yang tewas dikeroyok Aremania di Malang, 5 bocah cilik yang tewas saat perjalanan awaydays di Lamongan, dan mungkin masih banyak lagi yang tak terekspose di media.
Dari berbagai tragedi di atas, seringkali penegakan hukum atau pengusutan kasusnya oleh aparat yang berwenang tidak berjalan. Sehingga, di alam bawah sadar suporter timbul solidaritas yang makin menguat untuk suatu saat membalaskan dendam kematian rekannya, dan ini selalu dijadikan pembenar atas tindakannya. Akibatnya, yang timbul adalah perilaku eigen rechting atau tindakan main hakim sendiri ketika bertemu suporter rival.
Apakah kita terus berdiam diri menunggu korban lain berjatuhan? Melihat tanggapan Presiden Jokowi dan Menpora Imam Nahrowi yang turut berduka cita atas meninggalnya suporter, tentunya kita patut berharap Negara hadir dalam meminimalisir kekerasan pada sepakbola Indonesia. Pemerintah harus berkomitmen penuh dalam meminimalisir kekerasan suporter. Diperlukan tindakan pengendalian sosial yang koersif, karena merubah paradigma suporter tidaklah mudah.
Pemerintah harus mau belajar pada apa yang dilakukan pemerintah Inggris. Pada era 70-dan 80an hooliganisme merajalela, akhirnya Pemerintah Inggris hadir dan mulai mengendalikan perilaku suporter. Hasilnya kekerasan suporter menurun dibandingkan tahun 70 dan 80-an, meskipun belum bisa menghapus sepenuhnya, dan stadion menjadi tempat yang nyaman bagi penikmat sepakbola.
Lalu apa yang bisa Negara lakukan untuk meminimalisir kekerasan pada sepakbola Indonesia? Yang pertama tentu saja melarang/menghapus nyanyian/chant yang menghujat suporter lain di Stadion, seringkali bentrokan suporter terjadi karena hal ini. Jika perlu, segera tangkap Dirijen/Capo yang memimpin nyanyian hujatan untuk menimbulkan efek jera.
Yang kedua, mengusut tuntas semua kasus kekerasan suporter yang terjadi, baik bentrokan antar suporter, sweeping plat nomor kendaraan kota rival, dsb. Penegakan hukum dan pengusutan kasus yang tuntas, akan menumbuhkan kepercayaan suporter atau masyarakat yang dirugikan akan kehadiran Negara dan mulai mempercayakan lagi penegakan hukum pada aparat yang berwenang. Selain itu, agar suporter bisa berpikir ulang jika akan melakukan tindakan kekerasan lagi, karena kekerasan atas nama suporter ternyata tidak kebal hukum.
Yang ketiga, Suporter harus dipaksa untuk menerima perbedaan dengan menerima kedatangan suporter tamu yang notabene rivalnya pada saat pertandingan kandang. Tentunya hal ini dibutuhkan upaya massif dari aparat keamanan untuk bisa mewujudkan hal ini. Perlindungan kepada suporter tamu harus maksimal agar tidak terjadi bentrokan. Dengan upaya ini, diharapkan suporter tidak lagi menganggap stadion adalah tempat yang sakral yang tidak boleh dimasuki suporter tamu, yang akhirnya bisa menerima perbedaan yang ada.
Semoga Negara segera hadir, dan tak perlu lagi menunggu korban-korban selanjutnya.