Dan putaran kincir membawa kita mengangkasa melihat pucuk Angsana yang menguning ke sana-kemari, ditimang gamang pancaroba. Beberapa daunnya lirih luruh ke bangku merah pudar tepat di bawahnya.
"Mungkin itulah mengapa tiang lampu penerang diciptakan melengkung?" katamu, masih menjulurkan kepala ke luar "Mereka didesain untuk bersimpati pada guguran dedaunan itu."
Mana mungkin para pendesain memikirkan pola relasi Angsana dan tiang itu, tangkisku. Lain soal bila lengkung itu diharapkan mampu menyiratkan secuil dua estetis visual buat para pengunjung.
"Maksudmu pengunjung-pengunjung itu, yang mungkin seliweran dengan harapan menemukan kelegaan seperti kita, jauh lebih utama ketimbang si pohon Angsana? Ayolah, pikirkan lagi, Mo."
Aku menggeser posisi duduk. Mencari pemandangan lain. Pertanyaanmu ditanggapi roda gerigi kincir yang berhenti berputar. Ada yang keluar dari kapsul. Pemuda-pemudi, bergandengan tangan. Sepasang kekasih kiranya. Berdua, mereka berjalan lambat hingga akhirnya hilang dari jangkauan ketertarikanku.
Kulirik lagi kamu, masih tekun memandangi pucuk kuning Angsana dan lampu di bawah sana. Seolah menunggu kalau saja sang tiang meneteskan butir-butir air di permukaannya, menguatkan kecurigaanmu barusan.
Padahal gumpalan awan kembang gula di atas sana juga menarik lho untuk dipandangi, godaku. Sayang sekali jika di posisi kita saat ini, kau terus menerus terpaku ke bawah.
Kau tarik kepala, memandangi langit dari balik lempeng besi kapsul seperti yang kulakukan. Lalu, berpura-pura menguap lebar tak ubahnya mulut tengkorak, musuh bebuyutan kodok Zuma. "Terlalu menggemaskan. Aku malah ingat isi bantal biru kesukaan adikku yang di suatu penghujung malam terbakar bara obat nyamuk murahan."
Dan kau sandarkan tubuh ke belakang. Menutup mata sambil senandungkan potongan lagu band cadas Bandung. Entah alasan apa. Mungkin hanya atas dasar keisengan semata, kan?
"Aku tarik nafas panjang,
Aku pejamkan mata
Lapang, rasakan tenang a a a
Telah lamaku berjalan
Menyusuri debu-debu terbang
Warisan kehidupan..."