Mohon tunggu...
mahlan Aryoga
mahlan Aryoga Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hoby menyanyi,kepribadian suka bergaul dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Evaluasi Implementasi Syariah Islam di Aceh: Perkembangan, Tantangan, dan Dampak Sosial

5 Juni 2024   23:16 Diperbarui: 5 Juni 2024   23:42 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan
ACEH sebuah provinsi di ujung pulau Sumatera yang di kenal dengan penerapan Syariat islam. penerapan syariat Islam di Aceh sebenarnya telah berlaku di Aceh jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia ada, yaitu sejak memerintahnya Raja Iskandar Muda. Kemudian dilanjutkan masa setelah kemerdekaan, masa Orde baru, reformasi dan sampai dengan masa sekarang ini.
Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah satu usahanya adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan portugis yang sangat membenci islam. Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau sumatera.
Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan hukum yang diatur oleh ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hukum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini.
 setiap Kawasan di Aceh itu dulu nya memiliki seorang Qodhi ulee balang yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin mengajukan banding maka di lanjutkan kepada Qadhi Malikul Adil.Qadhi tersebut pun di angkat dari kalangan ulama yang bijaksana dan berwibawa.

Perkembangan Implementasi Syariat Islam di Aceh
Pelaksanaan hukum Syariat juga telah diperjuangkan rakyat Aceh dan telah dibentuk sebagai Undang-Undang oleh Pemerintah Indonesia dengan dibentuknya Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Mendapatkan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonom yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan pertama sekali pada 26 Mei 19599 . Status ini kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang daerah otonomi khusus dan ditekankan lebih lanjut dalam UUPA no.11 tahun 2006 sebagaimana pada pasal 7 ayat 1 dan 2 UUPA yang menyebutkan bahwa ;
 1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
 2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan Pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama
Meskipun di Aceh telah diterapkan pelaksanaan Syariat Islam bukan berarti umat Non-Muslim tidak dapat menetap dan menjalankan aktifitas keagamaan mereka. Semua agama di Aceh dapat menjalankan kehidupan secara berdampingan dalam misi Islam"Rahmatan lil'alamiin" (QS. Al-Anbiya' ; 107)
Hal tersebut juga berkaitan dengan salah satu daripada 5 Maqhasid syar'iyah, yaitu Hfdzu ad-din(Menjaga Agama). Yang mana di dalam nya di jelaskan bahwa menjaga amalan ibadah seperti shalat, zikir, dan sebagainya serta bersikap melawan ketika agama Islam dihina dan dipermalukan. Begitu pula amalan ibadah juga berperan untuk menjaga keutuhan dan kemuliaan agama itu sendiri. Seperti Sabda Nabi SAW:
"Shalat adalah tiang agama. Barang siapa mendirikan shalat, maka ia menegakkan agama, dan barang siapa meninggalkan shalat, maka ia merobohkan agama"
   
Namun, di dalam menjalan kan perintah agama setiap Muslim itu tidak di tuntut atau di paksa menjalankan perintah agama. Seprti dalam Firman ALLAH SWT dalam Surah AL-BAQARAH ayat 256:
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat"
Lalu kapankah peradilan syariah di aceh itu terbentuk?
Pengadilan Agama (Mahkamah Syar'iyah) adalah suatu lembaga publik servis dalam suatu penegakan hukum dan keadilan yang bertugas melaksanakan sebagian kekuasaan kehakiman untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan guna mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera serta memiliki kesadaran hukum yang tinggi.
Pembentukan Mahkamah Syar'iyah di Nanggroe Aceh Darussalam  adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang  Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Jo Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam  Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari'at Islam.
Sebagaimana dimaklumi bahwa untuk mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari secara pribadi, baik dalam bidang aqidah, ibadah, mu'amalah, munakahat maupun jinayah, seseorang dapat melaksanakannya sesuai apa yang terkandung di dalam Al-Quran, Sunnah Rasulullah serta perdapat para Ulama. Namun untuk masalah-masalah yang memerlukan campur tangan negara dalam penerapannya, sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, maka penerapan hukum Islam dalam masyarakat haruslah melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini berarti kalau ajaran Islam mau diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka ajaran tersebut harus dituangkan terlebih dahulu kedalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan untuk tingkat daerah Aceh melalui Qanun-qanun.
Dampak sosial
 penerapan syariat Islam di Aceh didukung oleh sistem sosial dan budaya masyarakat yang kental dengan nilai-nilai keislaman. Dinas syariat Islam sebagai ujung tombak pelaksanaan syariat Islam dengan segala dinamikanya telah mencoba melakukan yang terbaik meskipun tentunya masih menyisakan berbagai sisi kelemahan dan kekurangan. Masyarakat menilai eksistensi pemerintah Aceh khususnya Dinas Syariat Islam sebagai roda penggerak jalannya syariat Islam di Aceh sudah memiliki kekuatan yang penting dalam menerapkan berbagai program yang diusung, meskipun masih banyak ditemukan kendala dalam perjalannya. Akan tetapi, dukungan dari masyarakat dan berbagai elemen lainnya sangat memberi pengaruh yang positif. Untuk penguatan penerapan syariat Islam di masa mendatang dibutuhkan keselarasan dari seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan komitmen yang seirama untuk menguatkan cita-cita pelaksanaan Islam secara kaffah. Sudah seharusnya pelaku-pelaku utama untuk selalu mengedepankan harmonisasi pelaksanaan syariat Islam yang bisa diwujudkan melalui pembaharuan komitmen, perilaku, penyediaan anggaran, dan melalui terobosan-terobosan program yang efektif. Dengan upaya ini diharapkan implementasi syariat Islam tidak hanya menjadi harapan belaka, akan tetapi ia akan menjadi kenyataan.

Referensi
https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/23751/
https://dsi.acehtengahkab.go.id/halaman/sekilas-tentang-syariat-islam
https://ms-sigli.go.id/sejarah/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun