Beberapa tahun terakhir industri perfilman Indonesia berkembang sangat cepat. Banyak sekali kemudian genre-genre yang ditawarkan setelah dikuasai film ber-genre horor++. Meskipun begitu nampaknya film ber-genre horor++ belum akan kehilangan peminat. Dan dari banyaknya film-film horor Indonesia yang sedikit “mengganggu” saya mungkin salah satunya adalah film tentang kuntilanak yang bisa dipanggil melalui sebuah tembang jawa. Film ini berhasil membentuk dan menguatkan opini publik yang selama ini (sampai sekarang) menganggap jawa identik dengan klenik, mistik, dll. Menurut saya, kebudayaan jawa menjadi korban industri dengan kerugian paling besar. Tapi tentu saja bukan secara materi.
Dalam film tersebut diceritakan bahwa kuntilanak akan datang setelah mendengar tembang yang dinyanyikan (ternyata tembang tersebut adalah Macapat berjenis Durma). Kemudian berkembang cerita-cerita yang kemudian ditulis di forum-forum online ataupun blog yang menceritakan pengalamannya setelah mendengar tembang tersebut yang kebanyakan menceritakan pengalaman yang mengerikan. Sedikit lucu menurut saya.
Mengapa bisa begitu, mari bahas tentang tembang Macapat berjenis Durma. Durma adalah salah satu dari tembang alit (Macapat) yang awalnya diciptakan oleh Sunan Bonang untuk kepentingan dakwah (ironis jika kemudian digunakan untuk memanggil setan). Durma merupakan ragam bahasa jawa Jarwo Dhosok yang berarti munduring tata krama (berkurangnya sopan santun). Awalan “dur” menegaskan bahwa tembang ini menceritakan polah manusia yang sering berbuat buruk daripada berbuat baik (jawa: dur berarti buruk). Seperti tembang Macapat yang lain, Durma mempunyai patron sendiri dalam susunannya, yaitu berjumlah tujuh baris dengan guru lagu dan guru wilangan yang sudah ditentukan.
Tembang Macapat hampir selalu digunakan sebagai media dakwah oleh wali songo dan penerusnya, diantaranya yang terkenal tentu saja Mangkunegara IV dan Sultan Agung. Mereka selalu menggunakan Macapat untuk berdakwah dan mengajak pada kebaikan. Serat Wulangreh, Sabdatama, Sastra Gendhing, menggunakan media Macapat karena bisa dibilang tembang ini sudah mengakar di kalangan masyarakat Jawa. Maka jika kemudian sebuah film menggunakan Macapat sebagai salah satu daya jual, dan membelokkan makna aslinya, tentu film saja tidak mempunyai niat yang baik untuk melestarikan kebudayaan warisan leluhur, karena dengan menguatnya anggapan publik bahwa tembang Macapat itu seram, dapat memanggil setan, dll akan mengakibatkan generasi muda takut mempelajari kebudayaannya.
Ditambah lagi dengan sinetron-sinetron tak jelas berlatar belakang sejarah jawa yang ceritanya sangat ngawur semakin marak di televisi. Di sinilah seharusnya peran KPI untuk menyaring siaran-siaran yang berpotensi mengaburkan sejarah, karena jika generasi muda lupa dan tidak mengetahui sejarah bangsanya, bisa dibilang bangsa itu telah hancur. Meskipun dengan dalih sebagai hiburan, saya kira sinetron pengabur sejarah harus dilarang.
Sebagai penutup, saya belajar Macapat selama beberapa tahun, dan saya menyimpulkan bahwa tembang pemanggil kuntilanak yang katanya berjudul "Lingsir Wengi" tersebut tak perlu ditakuti, silahkan ditembangkan malam-malam karena setiap malam sebelum tidur saya selalu mendengarkan tembang Macapat terlebih dahulu. Jika masih merasa takut, cobalah mendengarkan tembang Macapat yang lain yang berjudul “Rumeksa ing Wengi” karangan Sunan Kalijaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H